Jumat, 31 Juli 2009

Teknologi TV Makin Mengernyitkan Dahi


Jumat, 31 Juli 2009 | 04:19 WIB

AW Subarkah

Memilih saluran televisi sekarang ini sudah semakin tidak sederhana lagi sekalipun perkembangan di negeri ini masih dalam kategori awal. Televisi yang ada di dalam benak sebagian besar masyarakat masih berupa tayangan yang ditangkap dari pancaran siaran sebuah stasiun TV.Dengan belasan stasiun TV yang mengudara sekarang saja, sudah tidak mudah mencari program-program yang diinginkan. Apalagi ketika migrasi ke sistem siaran digital yang direncanakan tahun 2018 sudah sepenuhnya terjadi, akan lebih rumit lagi, mengingat satu kanal pada sistem analog bisa digunakan sampai enam kanal digital.

Aplikasi teknologi digital akan membawa dampak yang besar bagi industri pertelevisian. Setidaknya, layanan konvensional ini akan terpecah menjadi dua, yaitu penerimaan tidak bergerak (fixed reception) dan penerimaan bergerak (mobile TV) yang menggunakan pita frekuensi UHF.

Kerumitan sebenarnya sudah mulai dirasakan oleh mereka yang sudah berlangganan TV kabel ataupun TV satelit, bukan hanya puluhan kanal, tetapi bahkan bisa sampai ratusan kanal TV. Setidaknya dari sini sudah mulai muncul pemahaman baru menyaksikan acara TV.

Yang lebih dahsyat sebenarnya adalah munculnya Internet Protocol TV (IPTV), yaitu layanan TV yang disalurkan melalui media internet. Layanan terbatas mungkin masih bisa ditandai dengan mudah, tetapi layanan terbuka dari situs-situs yang berasal dari seluruh dunia yang nyaris tidak terbilang jumlahnya.

Semua situs di internet sekarang bisa membuat layanan TV, bergantung pada kemauan pengelola dan tentu juga ketersediaan dana. Bahkan situs dalam negeri seperti Kompas.com sudah memberikan layanan ini sejak tahun lalu hanya karena biaya akses internet yang masih dirasakan mahal dan lambat yang membatasinya.

Soal waktu saja cara baru menikmati layanan TV juga akan memengaruhi masyarakat. Bahkan, pihak pemerintah juga sudah menyiapkan lelang untuk infrastruktur jaringan pita lebar WiMAX yang khusus bagi Indonesia akan ditempatkan pada pita frekuensi 2,3 GHz, selain itu juga mengantisipasi datangnya IPTV itu sendiri.

Memang layanan yang ideal untuk penerimaan tidak bergerak adalah menggunakan serat optik (FO). Beberapa negara, termasuk Singapura, sudah merintis apa yang disebut fiber to home. Namun, untuk kondisi kota besar seperti Jakarta yang tidak teratur, luas tampaknya tidak menguntungkan untuk menggelar jaringan FO.

Generasi keempat

Dunia saat ini memang sudah memasuki generasi keempat untuk layanan telekomunikasi nirkabel. Selain WiMAX yang dirancang oleh para penggerak teknologi informatika, juga Long Term Evolution (LTE) yang dikembangkan vendor-vendor seluler, terutama dari kelompok pengembang GSM.

Teknologi pita lebar inilah yang diharapkan bisa menjadi sarana yang empat-lima tahun lalu dikonsepkan dengan triple play, satu saluran untuk tiga layanan yang berbeda. Selain tetap sebagai sarana berkomunikasi suara, satu saluran itu juga bisa digunakan sebagai sarana hiburan dan data (internet).

Dua layanan yang terakhir ini yang mendorong berkembangnya IPTV, apalagi bandwidth internasional juga sudah semakin lebar. Bahkan, dalam pameran komunikasi dan informatika, seperti CommunicAsia yang berlangsung Juni lalu di Singapura, yang sangat menonjol adalah masalah IPTV.

Topik hangat IPTV sebenarnya bukanlah isu baru, tetapi mereka mulai banyak melihat keuntungan yang bisa didapat, termasuk bagaimana menggaet iklan. Pameran ini juga dimeriahkan dengan lahirnya telepon seluler transparan pertama dunia, LG Crystal GD900, dan generasi terbaru telepon seluler pintar, Samsung Jet.

Pihak Departemen Komunikasi dan Informatika pada saat ini juga telah selesai menyusun Rancangan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika tentang Penyelenggaraan Layanan IPTV di Indonesia. Pengertian IPTV di sini lebih dimaknai sebagai layanan TV secara tertutup, biasanya juga memberikan layanan berkelas high definition (HD), di mana pengakses adalah pelanggan berbayar dan jaringan sebatas yang dimiliki oleh penyelenggara.

IPTV yang berkembang sejak 2007 ini sekarang makin berkembang, khususnya di kawasan Eropa Barat dan Amerika. Di Indonesia sendiri dikatakan sudah ada beberapa penyelenggara telekomunikasi yang sudah sangat berminat dan siap untuk menyediakan layanan tersebut.

Layanan IPTV menyajikan program-program TV interaktif dengan gambar berkualitas tinggi (HD) melalui jaringan internet pita lebar (broadband). Ragam layanan IPTV di antaranya Electronic Program Guide, Broadcast/Live TV, Pay Per View, Personal Video Recording, Pause TV, Video on Demand, Music on Demand (Walled Garden), Gaming, Interactive advertisement, dan T-Commerce.

Pihak pemerintah lebih condong melihat teknologi infrastruktur jaringan yang akan digunakan mengarah pada penggunaan teknologi packet switched yang berbasis protokol internet. Dengan demikian, IPTV dipandang sebagai salah satu bentuk konvergensi antara telekomunikasi, penyiaran, dan transaksi elektronik.

Sementara secara paralel migrasi penyiaran analog ke TV digital juga baru memasuki tahun pertama dari rencana 10 tahun ke depan. Selain sudah dimulai dengan penyebaran perangkat set-top box agar TV lama (analog) masih tetap bisa menikmati layanan bertransmisi digital, juga sudah ada TV dengan tuner digital sesuai dengan standar Indonesia.

Semua ini akan memberikan tantang baru bagi mereka yang akan terjun ke dunia bisnis pertelevisian, tidak terkecuali bagi mereka yang sudah eksis sekarang. Paradigma baru menonton televisi akan segara berubah, strategi bisnis juga harus menyesuaikan atau tergusur dari arena ini.

WiMAX Vs LTE, "Broadband" Masa Depan?


Jumat, 31 Juli 2009 | 04:18 WIB

Sumaryo

Beberapa saat terakhir, kita sering mendengar istilah-istilah WiMAX mobile dan juga Long Term Evolution atau LTE. Apa sih sebenarnya kedua terminologi ini?

Kalau melihat asalnya, jelas keduanya berbeda. WiMAX merupakan keluaran dari WiMAX Forum, sebuah organisasi yang berawal dari komunitas internet (IP based), sementara LTE merupakan keluaran dari 3GPP atau 3G Partnership Program, gabungan atau kelompok penyelenggara layanan seluler yang asal mulanya dari layanan telekomunikasi.

Dari sisi teknologi, keduanya mengacu pada teknologi nirkabel pita lebar (wireless broadband) yang mengusung teknologi modulasi OFDMA hingga 2048 FFT. Secara sederhana, teknologi ini memungkinkan tingkat efisiensi penggunaan spektrum frekuensi yang sangat tinggi, lebih dari 5 bps untuk tiap Hz bandwidth yang dipakainya. Dengan demikian, untuk lebar pita 20 MHz, sistem modulasi ini mampu memberikan kecepatan download/upload hingga 100 Mbps.

Jika digabungkan dengan teknologi sinkronisasi antar-BTS serta antena pintar seperti beam focused ataupun MIMO, dalam satu BTS teknologi ini memungkinkan kapasitas hingga 500 Mbps untuk lebar pita frekuensi yang sama–20 MHz. Jika seandainya tiap pemakai dialokasikan 1 Mbps, teknologi ini akan mampu melayani pelanggan bersamaan (concurrent user) hingga 500 pelanggan per BTS.

Bandingkan dengan teknologi 3G yang hingga saat ini hanya mampu melayani lebih kurang 32 pelanggan bersamaan per BTS, tentu saja teknologi WiMAX mobile maupun LTE sungguh menarik bagi para penyedia layanan wireless broadband. Tentu saja dengan kapasitas sebesar itu, diperlukan sarana/kemampuan backhaul ataupun backbone yang cukup memadai.

Jika saat ini untuk tiap BTS 3G cukup disediakan backhaul sebesar 4 x E1 (8 Mbps) atau bahkan kurang dari itu, penggelaran WiMAX mobile maupun LTE akan memerlukan backhaul ataupun backbone yang jauh lebih besar, mungkin berkisar pada angka 500 Mbps tentunya. Nah, teknologi apa yang dapat dipergunakan untuk backbone yang besar ini?

Yang paling memungkinkan tentu saja kabel serat optik (FO). Namun juga dapat dipergunakan laser atau free space optic ataupun Gigabit microwave yang sudah mulai tersedia di pasaran.

Bagaimana prospek masing-masing teknologi di atas? Siapakah yang akan memenangi persaingan, atau teknologi mana yang akan diadopsi? Sangat sulit memprediksi karena ini sangat berhubungan dengan kondisi finansial global (seberapa banyak perusahaan mau berinvestasi), regulasi yang mengakomodasi keduanya, dan juga keinginan (ataupun ketidakinginan) penyedia teknologi/vendor untuk menghadirkannya kepada masyarakat luas, serta persepsi masyarakat akan nilai tambah yang diberikan keduanya.

Tidak dapat dimungkiri lagi bahwa beberapa vendor besar (terutama yang berbasis produksi perangkat seluler dan atau 3G saat ini) telah menarik diri atau memutuskan untuk tidak menyokong pengembangan perangkat berteknologi WiMAX mobile, tetapi lebih ke pengembangan LTE. Akan tetapi, tingkat persaingan teknologi ini masih panjang dan hanya waktulah yang akan bisa menentukan teknologi mana yang akhirnya akan dipilih masyarakat.

Sumaryo Pengamat Telematika; Sekjen Broadband Wireless Indonesia (Id-Wibb)

Rabu, 15 Juli 2009

MEDIA MASSA Perpindahan ke Media "Online" sebagai Inovasi


Rabu, 15 Juli 2009 | 03:47 WIB

Jakarta, Kompas - Perpindahan surat kabar menjadi media online mestinya dilakukan bukan sebagai strategi jalan keluar dari ancaman kebangkrutan, melainkan harus dilihat sebagai inovasi atau terobosan bisnis. Dengan demikian, keberadaan surat kabar bisa tetap bertahan dengan penambahan pembaca lewat media online-nya.

”Tiap tahun media cetak diramalkan mati, terutama sekarang, oleh internet. Di Amerika Serikat memang sudah terjadi. Lalu mereka memakai media online sebagai exit strategy. Cara itu sangat berbeda dengan di Eropa yang memakai media online sebagai inovasi,” kata Lukas Widjaja, Pemimpin Perusahaan PT Kompas Media Nusantara, yang berbicara dalam seminar Media Industry Review 2009 Belajar dari Kebangkrutan Koran-koran di Amerika Serikat dan Iklan Media Cetak Semester II 2009 yang dilaksanakan Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) Pusat di Jakarta, Selasa (14/7).

Dahlan Iskan, CEO Jawa Pos dan Ketua Umum SPS Pusat, mengatakan, adanya koran ”mati” atau tutup sudah biasa terjadi. Sekitar 40 tahun lalu di AS tanpa internet, sekitar 40 persen surat kabar tutup.

”Perilaku manajemen surat kabar di Amerika itu yang tidak beres. Kebangkrutan yang terjadi di sejumlah koran AS itu secara teknis lebih karena keuangan,” kata Dahlan.

Direktur Utama Mediatrac Andy Sjarif mengatakan optimistis surat kabar tidak mati. Namun, tetap perlu ditemukan terobosan untuk membuat usia surat kabar itu panjang dengan memanfaatkan media online. (ELN)

Jumat, 10 Juli 2009

Google Buat Sistem Operasi Murah


Kamis, 9 Juli 2009 | 05:07 WIB

Sun Valley, Rabu - Perusahaan teknologi Google Inc saat ini tengah membangun sistem operasi baru untuk komputer murah. Hal ini juga merupakan perlawanan terhadap dominasi Microsoft Corp yang selama dua dekade ini menguasai komputer-komputer di dunia.

Sistem operasi baru itu diumumkan Selasa (7/7) waktu setempat pada situs Google. Sistem itu akan berdasarkan web browser Google yang baru berusia sembilan bulan, Chrome.

Google bermaksud mengandalkan bantuan dari komunitas pemrogram open-source untuk mengembangkan sistem operasi Chrome. Sistem ini diharapkan akan dapat digunakan pada semester kedua 2010.

Google yang berbasis di The Mountain View, California, mengungkapkan rencananya mengenai sistem operasi itu setelah kantor berita online Ars Technica dan The New York Times mencantumkan rencana tersebut dalam situs mereka.

Bersaing ketat

Google tengah merancang sistem yang terutama akan digunakan untuk ”netbook” berharga murah, yang merupakan komputer jinjing yang belakangan ini sangat populer bagi konsumen yang mengutamakan penggunaan komputernya untuk berselancar menjelajahi situs-situs. Sistem operasi ini menggambarkan tantangan terbesar Google terhadap nama yang sudah terlebih dahulu eksis, Microsoft. Pertarungan di antara kedua perusahaan teknologi itu telah memanas dalam beberapa tahun belakangan ini.

Sementara itu, Microsoft juga berupaya melawan Google dengan menginvestasikan miliaran dollar AS untuk meningkatkan kemampuan sistem pencarian dan iklan di internetnya. Mesin pencari Microsoft yang disebut Bing berhasil mendapatkan respons yang cukup positif dari pasar. (AP/joe)