Rabu, 10 Maret 2010

Industri Komunikasi



Oleh Agus Suman
(Guru Besar Ilmu Ekonomi Universitas Brawijaya)

Riuhnya industri komunikasi di Indonesia setidaknya satu dekade terakhir ini sangat mengagumkan. Bahkan, pertumbuhan konsumen industri seluler merupakan pertumbuhan tertinggi dibandingkan dengan pertumbuhan konsumen industri lain di sini.

Sehingga, perkembangannya saat ini, perang harga pada gelanggang komunikasi tak terelakkan lagi. Pertempuran sesama operator dan produsen pada industri ini secara kasat mata dapat kita temui setiap saat di berbagai media. Bahkan, kecenderungan yang terjadi keduanya bergandengan untuk terus berekspansi.

Membanjirnya perangkat seluler murah plus layanan operator yang ekonomis, tentu menjadi fenomena yang menarik untuk dicermati. Memang hal ini secara umum sangat menguntungkan masyarakat, tetapi pasar produk komunikasi yang memang masih berkilau, mendorong ekspansi serta investasi akan membiak dengan cepat pada ranah ini.

Akibat negatif yang akan hadir adalah kerontangnya sektor lain dari investasi, karena tersalip bahkan terinjak oleh hasrat investor pada industri komunikasi. Sementara karakter industri tersebut sangat padat teknologi, tetapi tidak terlalu ramah terhadap tenaga kerja.

Saat ini kurang lebih ada 10 operator di Indonesia, yakni Telkom, Telkomsel, Indosat, Excelcomindo (XL), Hutchison (3), Sinar Mas Telecom, Sampoerna Telecommunication, Bakrie Telecom (Esia), Mobile-8 (Fren), dan Natrindo Telepon Selular.

Sementara dari data penggunanya hingga akhir 2009, tidak kurang dari 120 juta (ATSI, 2009). Sungguh sangat fantasis, apalagi bila kita bandingkan dengan pengguna pada satu dasawarsa lalu, yakni hanya 3,5 juta (2000), kemudian 6,39 juta (2001) atau mekar 82,2 persen, dilanjutkan 11,27 juta (2002) atau tumbuh 76,3 persen, lantas 18,49 juta (2003) atau membiak 64,1 persen. Satu tahun kemudian, berkembang 64,0 persen menjadi 30,33 juta (2004), terus merangkak menjadi 46,91 juta (2005). Memang pertumbuhannya mulai melanda menjadi 15 persen, tetapi pelanggan telepon seluler semakin besar, yakni 54,69 juta (2006).

Fondasi Liberalisasi
Undang-Undang RI No 36/1999 tentang Telekomunikasi adalah pintu gerbang liberalisasi pada jagat komunikasi di Indonesia. Lewat aturan tersebut penyedia layanan seluler bergegas dengan berbagai jurus, menggarap pasar baru yang cukup menggiurkan.

Hasilnya memang cukup cespleng, berkomunikasi yang dulunya hanya dikenal lewat telepon rumah (jaringan kabel) diajak beralih ke telepon seluler. Gaya hidup pentingnya berkomunikasi secara langsung menjadi salah satu jurus jitu. Strategi tersebut secara bersamaan disambut oleh produsen telepon seluler. Alat komunikasi yang sebelumnya dibuat hanya untuk kalangan menengah dan atas, kemudian juga diproduksi untuk segmen bawah, tentu dengan harga yang jauh lebih terjangkau.

Terlebih saat ini, masyarakat kelas menengah ke bawah dapat memiliki telepon genggam dengan berbagai variasi serta fasilitas dengan harga murah, yang fungsinya tidak kalah dengan alat komunikasi yang jauh lebih mahal. Apalagi, masyarakat semakin menempatkan komoditas ini sebagai salah satu kebutuhan utama mereka.

Tentu, pergeseran perilaku tersebut disempurnakan lagi dengan jumlah penduduk kita yang termasuk terbanyak di dunia, sehingga ladang ini masih cukup menawan. Masuknya operator baru pun tentu menjadi sebuah keniscayaan.

Bahkan dari data yang ada, nominal perputaran pelanggan telepon seluler di Indonesia ranking paling tinggi bila dibanding negara-negara lain dalam satu kawasan, yakni diperkirakan mencapai 8,6 persen dalam sebulan. Sementara untuk India dan Cina, masing-masing 4 persen dan 2,7 persen. Kemudian Malaysia 3,7 persen per bulan. Lalu Thailand, Filipina, dan Bangladesh masing-masing perputarannya per bulan sekitar 2,9 persen, 3,1 persen, dan 2,1 persen.

Tetapi celakanya, bila melongok dari segi kepemilikan, rasanya tak sedap untuk diungkap. Rimbunnya bisnis komunikasi ternyata sebagian besar dimiliki oleh asing. Memang ini sebuah dilema, kebutuhan investasi yang tinggi untuk infrastruktur sektor ini tidak sanggup dipenuhi oleh kita sendiri.

Tentu foreign direct investment/Penanaman Modal Asing (FDI/PMA) menjadi salah satu pilihan. Bila melacak ke belakang, kepemiikan asing ini dimulai oleh akuisisi 35 persen saham PT Telekomunikasi Seluler (Telkomsel) oleh kelompok usaha Temasek Holding Limited.

Kemudian pada 2002, Singapore Technologies Telemedia Pte Ltd yang juga merupakan kelompok usaha Temasek Holding Limited melalui dua anak perusahaannya di Indonesia, yakni Indonesia Communication Limited dan Indonesia Communications Pte Ltd, membeli kepemilikan PT Indosat Tbk dari Pemerintah Indonesia sebesar 40,77 persen.

Dilanjutkan dengan dilegonya saham PT Excelcomindo Pratama Tbk dan dibeli oleh Telecom Malaysia Berhard sebanyak 27,3 persen. Perkasanya asing terhadap industri komunikasi berjaya hingga saat ini. Perusahaan lokal pun nyaris sunyi dalam domain industri seluler di Indonesia. Oleh sebab itu, meriahnya industri telekomunikasi saat ini perlu adanya desain baru kebijakan dari pemerintah yang lebih rinci untuk industri ini.

Memang pembatasan kepemilikan asing pada industri telekomunikasi juga bukan langkah yang ciamik. Formulasi regulasi yang dibutuhkan adalah mengontrol setiap perilaku industri telekomunikasi agar terhindar dari penyimpangan-penyimpangan yang telah digariskan.

Selain itu, aturan perlindungan terhadap konsumen juga lebih ditegakkan, mengingat kolosalnya pasar industri ini, yang setiap hari di-'gelontori' dengan banyaknya produk-produk ekonomis yang semakin terjangkau. Tetapi, tentu harga murah tidak dapat menjadi alibi menghadirkan kualitas abal-abal pada konsumen.

Kerugian konsumen, baik dari produk maupun layanan karena perilaku buruk produsen, kerap kita temui keluhannya pada surat-surat pembaca di media massa. Untuk itu, pemerintah wajib memberi sanksi tegas lewat aturan yang ada. Tujuannya, agar perkembangan jagad komunikasi di Indonesia tidak hanya dirayakan oleh produsen serta operator seluler semata, tetapi juga manfaatnya yang besar dapat dirasakan oleh masyarakat.

Dan, yang pasti negara harus memahami bahwa industri komunikasi mempunyai nilai strategis bagi kepentingan negara sehingga mengawalnya dengan berbagai aturan mutlak harus dilakukan.

(-)