Selasa, 31 Maret 2009

Media Tradisional Vs "New Media"

Oleh Myrna Ratna

Naiklah kereta bawah tanah di Tokyo. Sepuluh tahun lalu, hampir sebagian besar penumpangnya, baik tua dan muda, tepekur membaca buku, majalah, surat kabar, dan komik. Kini yang ada di tangan mereka adalah handphone, i-pod, note-book. Inilah generasi paperless….

Media tradisional, khususnya cetak, sedang menghadapi cobaan berat. Kehadiran media baru (new media), seperti internet, telepon genggam, i-pod, radio satelit, dan munculnya sebuah generasi yang berbeda dalam mengonsumsi informasi telah memaksa media cetak untuk berpikir keras menata kembali posisinya agar tetap relevan bagi konsumennya.

Datangnya era jurnalisme warga (citizen journalism) juga memaksa media tradisional mengubah pola pikir sebagai satu- satunya alternatif penyampai ”kebenaran”. Namun, tantangan terberat berikutnya adalah datangnya krisis ekonomi global. Bagi media cetak, harga kertas impor terus membubung, pemasukan iklan menurun drastis, dukungan distribusi semakin mahal, sementara sirkulasi umumnya stagnan, kalau tidak anjlok.

Bila dianalogikan dengan badai, inilah ”badai sempurna” (perfect storm) bagi industri media cetak ketika tiga gelombang menghantam sekaligus. Korban pun berguguran. Bangkrutnya sejumlah surat kabar besar di Amerika Serikat menjadi sinyal yang memilukan. Semua ini memunculkan pertanyaan, akan seperti apakah nasib media tradisional, khususnya media cetak Asia. Yang lebih penting lagi, akan seperti apakah wajah jurnalisme di masa depan.

Inilah salah satu topik hangat yang dibahas dalam Simposium Wartawan Asia yang berlangsung di Tokyo, 18 Maret lalu, yang diselenggarakan Departemen Luar Negeri Jepang dan disponsori Televisi Publik NHK serta harian Yomiuri Shimbun. Simposium yang bertajuk ”Development of Fundamental Values and Journalism: Past, Present and Future, Achievements and Prospects of the Media”, itu dihadiri panelis dari India, Korea Selatan, Jepang, dan Indonesia, dengan ketuanya Toshiyuki Sato dari Japan Broadcasting Corporation NHK, serta pembicara utama Dr Isami Takeda dari Universitas Dokkyo.

Di negara-negara Asia yang mayoritas penduduknya sudah akrab dengan teknologi tinggi, seperti Jepang dan Korea Selatan, kekhawatiran bahwa media cetak akan ditinggalkan mulai terasa. Terlebih di Jepang yang senantiasa berkiblat pada fenomena yang terjadi di Barat, walaupun sebetulnya tingkat sirkulasi media cetaknya sampai saat ini masih luar biasa. Oplah Yomiuri Shimbun misalnya, sekitar 10 juta eksemplar. Namun, menurut Editor Senior Yomiuri Shimbun Akira Fujino, saat ini pemasukan iklan untuk media-media cetak di Jepang umumnya turun 10-20 persen.

Tak sederhana

Meski demikian, masa depan media cetak di Asia tak bisa disimpulkan secara sederhana karena masing-masing negara memiliki kondisi sosial sekaligus perjalanan sejarah persnya yang unik. Di Indonesia, misalnya, tantangan industri pers sampai tahun 1998 adalah memperjuangkan kebebasan dirinya. Tonggak kebebasan itu ditandai dengan jatuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998.

Media ikut berperan dalam penetapan agenda-setting perjalanan demokrasi di Indonesia. Dan, menjaga apa yang telah diraih dalam proses reformasi, seperti: memberi peran yang lebih besar bagi masyarakat madani, mencegah militer kembali ke panggung politik, menjamin proses checks and balances di antara tiga pilar kekuasaan, menjunjung penegakan hukum dan penghormatan pada HAM—semua itu menjadi prioritas utama pers Indonesia.

Hal yang sama juga terjadi di Korsel dan India. Perjuangan terhadap kebebasan pers di Korsel berpuncak setelah rezim militer tumbang tahun 1992. Sedangkan di India yang sudah lebih lama memiliki tradisi pers yang demokratis, kontribusi media cetak begitu dominan dalam menentukan arah kebijakan pemerintah. Dengan kata lain, di sejumlah negara di Asia, roh jurnalisme begitu erat dengan pembangunan demokratisasi.

Sehingga, bisa jadi persepsi tentang ”ancaman” terhadap industri pers berbeda dari satu negara dengan negara lainnya. Misalnya saja, mengenai penetrasi new media. ”Di India, media internet belum mengancam dominasi media cetak. Bahkan, survei nasional mengenai tingkat keterbacaan justru menunjukkan lonjakan signifikan untuk surat kabar-surat kabar India,” kata Unni Rajen Shanker, Editor Eksekutif The Indian Express yang berbasis di New Delhi.

Alasannya mungkin lebih kurang sama dengan situasi di Indonesia. Kedua negara ini masih berjuang melawan tingkat buta huruf. Di Indonesia jumlahnya masih sekitar 11 juta orang, dengan usia 15 tahun ke atas. Di India yang penduduknya lebih dari 1 miliar, angkanya lebih tinggi. Tingkat akses terhadap internet di India maupun Indonesia pun masih rendah. Hanya sekitar 25 juta orang di Indonesia saat ini yang memiliki akses terhadap internet atau sekitar 11 persen dari populasi yang berjumlah 228 juta orang. Dengan kata lain, kalaupun saat ini media cetak dan televisi kondisinya sedang ”berdarah-darah”, hal itu lebih dikarenakan faktor resesi ekonomi.

Meski demikian, tidak berarti tren ”going digital” bisa diabaikan. Setidaknya hal itu terekam dari jumlah kunjungan terhadap website Kompas.com yang diluncurkan sejak tahun 1995. Berdasarkan data Februari 2009, setiap bulan situs Kompas.com dikunjungi 66 juta kali, sementara page-view mencapai hampir 200 juta kali. Fakta ini menyiratkan bahwa di masa depan new media akan semakin berperan, dengan partisipasi masyarakat yang semakin besar. Namun, tidak berarti media cetak akan ”mati”

Etika jurnalisme

Pengalaman Yeon Ho Oh, CEO dari OhmyNews.com, menarik untuk disimak. OhmyNews adalah media online yang kontributornya atau ”reporter”-nya 100 persen pembaca, dan memiliki slogan bahwa warga biasa bisa menjadi reporter, penulis, pencetak, sekaligus pendistribusi berita. Pembiayaan produksinya selain dari iklan juga dari donasi pembaca. Laman ini muncul sebagai ”perlawanan” terhadap media arus utama yang dianggap oportunis terhadap pemerintah dan tidak menyampaikan suara rakyat yang sebenarnya. Kehadiran OhmyNews di Korsel memang fenomenal karena menjadi simbol ”demokratisasi pers” .

Namun, media berbasis warga maya (netizen) ini belakangan juga sulit melawan hantaman resesi. Pemasukan keuntungan secara konsisten menurun sejak tahun lalu sehingga menuntut manajemennya berpikir keras untuk membangun sebuah model bisnis baru.

Tapi yang lebih mendasar adalah gugatan terhadap produknya. Bagaimana menguji akurasi kebenaran sebuah berita? Bagaimana meyakini bahwa prinsip-prinsip etika jurnalisme tetap dipegang? Apakah pembaca hanya akan disuguhi berita-berita yang hanya ingin mereka dengar dan hanya pro terhadap kepentingan mereka? Bagaimana dengan tingkat kapabilitas ”reporter” dalam mengulas persoalan-persoalan khas semacam krisis ekonomi, perubahan iklim, dan konflik hukum?

Kata kuncinya adalah sinergi. Kelemahan di satu media dijembatani oleh media lainnya. Media internet memiliki kelebihan dalam menyuguhkan berita secara ”real-time”, yang menjadi kebutuhan nyata pelanggan. Bukan hanya itu, pelanggan pun ingin berpartisipasi, ingin bersuara, dan menyatakan pendapatnya. Semua kebutuhan ini bisa difasilitasi dan dieksploitasi oleh media digital yang memiliki space tak terbatas. Muncullah komunitas blogger, forum pembaca, dan sebagainya.

Toh, itu saja tak cukup. Pelanggan pun tetap membutuhkan berita yang memiliki kedalaman dan konteks. Berita yang menjawab semua keingintahuan mereka, dan disajikan secara sistematis, profesional, akurat, dan kredibel. Di sinilah kontribusi media cetak.

Tantangan terberat memang berada di pihak media cetak. Tapi ini bukan hal baru. Ketika era media elektronik (radio dan televisi) hadir dengan kemampuan penyajian berita selama 24 jam, nasib media cetak pernah diramalkan akan ”habis”. Kini kehadiran new media juga memunculkan ramalan serupa.

Namun yang sering dilupakan di sini adalah cetak, elektronik, ataupun internet hanyalah sarana. Yang jauh lebih penting adalah menjaga spirit jurnalisme. Akurasi, integritas, kredibilitas, keseimbangan, dan profesionalitas adalah roh jurnalisme yang tak akan lekang oleh waktu. Hal itu hanya bisa diperjuangkan oleh para jurnalis yang memiliki etika, kejujuran, dan mau bekerja keras.

Kamis, 26 Maret 2009

iNews dan E-book Selamatkan Koran?


Rabu, 25 Maret 2009 | 05:07 WIB

Oleh NINOK LEKSONO

Surutnya era surat kabar di berbagai penjuru dunia telah banyak diwacanakan, antara lain ditandai oleh surutnya pendapatan iklan dan jumlah pelanggan, lebih-lebih dari kalangan muda. Tak bisa disangkal lagi bahwa generasi muda yang juga dikenal sebagai Generasi Digital atau Generation C lebih menyukai peralatan (gadget) untuk mendapatkan informasi.

Menghadapi era transisi atau era baru ini, berbagai pendapat masih saling adu kuat, antara yang masih percaya akan kelangsungan hidup surat kabar dan yang yakin bahwa media yang pernah sangat berpengaruh ini satu hari nanti akan punah.

Hari-hari ini, tokoh besar media seperti Rupert Murdoch berada dalam kebimbangan besar. Sesaat sebelum resesi marak, Murdoch membeli Dow Jones yang menerbitkan koran The Wall Street Journal senilai 5 miliar dollar AS (sekitar Rp 60 triliun). Itu karena Murdoch dikenal sebagai sosok yang punya kelekatan kuat terhadap surat kabar (meski ia juga diakui sebagai mogul multimedia abad ke-21). Tetapi, kini ketika surat kabar mengalami kemunduran paling buruk semenjak Depresi (Besar tahun 1930-an), analis media di Miller Tabak, David Joyce, sempat mendengar dari para investor bahwa News Corp (konglomerasi media milik Murdoch) boleh apa saja, kecuali koran (IHT, 24/2).

Tantangan terhadap media cetak memang sungguh hebat. Orang membandingkan, mengapa media ini tak setahan TV, misalnya. Bahkan, ketika orang sudah banyak menghabiskan waktu di depan layar internet, atau juga di layar video, tidak sedikit pula yang masih terus bertahan di depan layar TV. Sayangnya, dalam pertempuran di antara layar-layar tersebut, media cetak tertinggal di belakang (Print media losing in a world of screens, IHT, 9/2).

Berbagai ide dan upaya telah dilontarkan untuk menyelamatkan surat kabar. Satu problem yang disadari ketika surat kabar masih diharapkan terus menjadi sumber keuntungan adalah bahwa akan ada kesulitan yang melilit. Penjelasan ini bahkan muncul ketika versi online koran sangat berpengaruh seperti The New York Times sudah amat maju, dengan pengakses unik 20 juta. Penyebabnya adalah penghasilan dari online hanya mampu mendukung 20 persen kebutuhan stafnya.

Menghadapi defisit ini, diusulkan ada pengerahan dana abadi (endowment) bagi institusi media cetak sehingga mereka terbebaskan dari kekakuan model bisnis, dan dengan itu media cetak tetap punya tempat permanen di masyarakat sebagaimana kolese dan universitas. (Lihat pandangan David Swensen, Chief Investment Officer di Yale, dan Michael Schmidt, seorang analis finansial, di IHT, 31/1-1/2.)

Dukungan teknologi

Sebelum ini, salah satu pemikiran yang banyak dikemukakan untuk meloloskan media cetak dari kepungan media baru adalah dengan bergerak ke arah multimedia sehingga berita tidak saja disalurkan untuk koran, tetapi juga untuk media lain, dari radio, TV, hingga internet dan mobile/seluler. Ini selaras dengan realitas baru, di mana pencari berita memang dari kalangan pengguna media noncetak dan media baru. Paham pun beranjak dari pembaca (readership) ke audiens. (Ini pada satu sisi juga akan membebaskan pengelola surat kabar dari tekanan meningkatkan oplah yang semakin sulit.)

Dalam kaitan ini pula muncul sejumlah inisiatif yang diharapkan mampu mempertahankan eksistensi surat kabar. Dua di antara inisiatif teknologi yang dimajukan untuk berkembang, dan seiring dengan itu bisa membantu surat kabar, adalah iNews (berita melalui perangkat internet) dan e-book (buku elektronik).

iNews

Sebelum ini, salah satu model bisnis untuk mengangkat industri musik adalah melalui apa yang dilakukan Apple dengan toko musik online-nya yang terkenal, iTunes, yang tahun lalu menjual 2,4 miliar track (lagu).

Yang disediakan oleh Apple kemarin ini adalah antarmuka pengguna yang mudah digunakan dan kerja sama luas dengan perusahaan musik. Dengan itu, petinggi Apple, Steve Jobs, bisa membantu bisnis (industri musik) yang nyaris ambruk akibat maraknya aktivitas bertukar lagu (file sharing). Memang dengan itu Apple dituduh mengerdilkan merek besar. Tetapi, itu tetap ada baiknya karena toh perusahaan musik yang dikerdilkan tadi masih tetap hidup sampai kini.

Pengelola bisnis surat kabar pun bisa waswas bahwa Apple bisa melakukan hal yang sama terhadap mereka. Caranya juga sama, meyakinkan jutaan pembaca yang tertarik, yang selama ini mendapatkan berita secara gratis melalui situs surat kabar—seperti kompas.com—untuk membayar.

Pilihan ini memang tampak lebih ditujukan untuk menyelamatkan institusi pers karena manakala pendapatan merosot, yang terancam bukan hanya perusahaan yang memiliki koran, tetapi juga berita yang dihasilkannya (David Carr, Could an iNews rescue papers?, IHT, 13/1)

Ide mencari bantuan juga dilakukan sejumlah media lain karena jelas ”gratis bukan sebuah model (bisnis)”. Cook’s Illustrated yang punya resep segudang dilanggan oleh 900.000 orang dan ecerannya mencapai 100.000. Selain itu, perusahaan ini punya 260.000 pelanggan online yang membayar 35 dollar AS per tahun. Pertumbuhannya mencapai 30 persen tahun 2008.

Di luar itu, tetap harus diakui, paham gratis masih dominan di dunia maya. Yang piawai tentu Apple, yang bisa membujuk pembeli gadget-nya untuk mau membayar musik yang dibeli. Jobs melihat musik sebagai bisnis perangkat lunak untuk memacu penjualan iPod dan iPhone. Bisnis musik tidak sepenuhnya senang dengan itu, tapi terbukti bisa membujuk pendengar membayar isi (lagu) untuk perangkatnya.

Dengan alam pikir ini pula dipikirkan gadget yang juga bisa diterapkan untuk koran. Misalnya iPod touch yang akan diluncurkan musim gugur tahun ini, dengan ukuran layar 18 sampai 23 cm.

Untuk e-book ada strategi lain. Amazon, yang sebelum ini telah membuat alat pembaca buku elektronik bernama Kindle, belum lama ini mengatakan bahwa selain dengan Kindle, buku elektronik juga akan bisa dibaca dengan smart-phone. Plastic Logic, pembuat alat e-reader lain, kini juga telah membuat persetujuan dengan sejumlah majalah dan surat kabar (The Economist, 14-20/2).

Skenario serupa seperti diuraikan di atas untuk iNews—yakni dengan pembundelan pemasaran antara alat dan isi (content) diharapkan bisa diterapkan—untuk alat-alat pembaca e-book ini. Dengan itu, meski koran dalam wujud tradisionalnya surut, lembaganya diharapkan bisa tetap lestari.

Minggu, 15 Maret 2009

Fenomena


Kekerabatan Baru Itu Facebook


Kompas/Priyambodo
Minggu, 15 Maret 2009 | 06:50 WIB

Ninuk Mardiana Pambudy

Tiga hari terakhir, komentar yang banyak beredar di facebook adalah tentang berubahnya tampilan jejaring sosial di internet itu. Sekarang, anggota facebook dapat melihat berbagai pesan, komentar, dan foto dalam waktu riil.

Tim facebook (fb) menyebutkan dalam pesan mereka, perubahan tersebut untuk membuat anggota jejaring lebih mudah mengetahui apa yang terjadi dengan teman-teman di dalam jejaring seseorang.

Untuk berjaga dari informasi yang tidak diinginkan, disediakan alat penyaring siapa yang akan ditampilkan di layar fb. ”Anda dapat mengontrol siapa yang akan muncul di sini,” begitu pesan dari fb.

Ini adalah jejaring sosial terpopuler saat ini bila dilihat dari jumlah 150 juta pengguna aktif. Saingan terdekatnya MySpace, yang menurut BBC News online digunakan 130 juta pemakai. Masih banyak jejaring sosial lain di dunia maya, antara lain Friendster, Tribe, Geek, Twitter, dan Bebo, termasuk maling list yang membahas topik-topik khusus.

Ada beberapa hal yang membuat fb yang berulang tahun kelima pada Februari 2009 begitu populer.

Satu hal, di fb anggota bisa berkomunikasi dengan orang yang benar-benar dia kenal. Ini berbeda dari jejaring lain.

MySpace, misalnya, merupakan ruang publik di mana kita dapat berhubungan dengan 1.000 ”teman”, tetapi sebetulnya mereka selebriti atau tokoh fiksi ciptaan perusahaan kehumasan. Dengan kata lain, bukan sosok yang benar-benar kita kenal.

Mengutamakan teman

Yang menarik, pertumbuhan tercepat anggota baru fb, menurut BBC News, adalah mereka yang berusia 30 tahun ke atas. Setiap hari, lebih dari 15 juta orang mengubah status mereka, tempat di mana pengguna menyatakan apa yang dia pikirkan, rasakan, atau akan lakukan.

Informasi itu akan tersebar seketika kepada anggota jaringan sehingga mereka mengetahui posisi dan apa yang sedang dilakukan temannya. Mereka dapat merespons langsung dengan mengirim komentar, lelucon, foto, atau video dalam waktu riil.

Para pendukung fb menyebut jejaring ini sebagai tempat di mana seseorang dapat menjadi dirinya sendiri dan bebas berbicara dengan teman dekat, ibu, bapak, sepupu, bude, om, eyang, pacar, teman bisnis, atau jejaring yang lebih luas.

Tempat ini juga dianggap paling aman berkomunikasi, selama percakapan penting dilakukan melalui kotak ”message” dan dengan orang yang dapat dipercaya.

Meskipun seorang anggota bisa memiliki lebih dari 1.000 teman di fb, tetapi dia dapat memilih bercakap dengan siapa tentang apa melalui fasilitas ”message”. Dengan cara ini, tidak perlu ada yang merasa disisihkan karena tak diajak bicara. Akan tetapi, juga sebaliknya, semua bisa ikut nimbrung bila topik disajikan di ”wall”.

Pengguna dapat berbagi foto diri dan teman-teman, video, dan membangun komunitas maya, termasuk menggalang kepedulian. Maka, ada cause antikekerasan di rumah tangga, antikorupsi, gerakan mengurangi pemakaian plastik, gerakan menanam pohon, antifundamentalisme, bahkan gerakan berdoa bersama antaragama untuk menghentikan dan membalikkan resesi global. Pusatnya di Kanada dan memiliki anggota di berbagai negara, termasuk Indonesia.

Undangan ke sebuah acara dapat disampaikan melalui fb, seperti ketika Yayasan Kesehatan Perempuan mengundang pemutaran film dokumenter Pertaruhan. Yang datang jumlahnya lebih banyak daripada bila undangan disampaikan melalui surat elektronik atau faksimile.

Bisa dimengerti, karena undangan di fb biasanya mencantumkan siapa akan datang, siapa tidak datang, atau mungkin datang. Dengan cara ini, seseorang bisa mengantisipasi siapa yang akan ditemui di acara tersebut.

Kekerabatan baru

Mark Zuckerberg (24) memperkenalkan ”The fb”, namanya saat itu, pada Februari 2004, dari kamarnya di asrama Harvard University. Dengan dibantu beberapa teman, Zuckerberg membuat jejaring mahasiswa melalui internet agar dapat saling kenal. Dalam 24 jam, 1.200 mahasiswa Harvard bergabung dan segera jejaring ini menyebar ke kampus lain.

Kini, fb diterjemahkan ke dalam 30-an bahasa, termasuk bahasa Indonesia dan Arab, dan dalam proses penerjemahan ke dalam 60 bahasa lain. Dengan pengguna begitu besar, pada tahun 2007 Microsoft rela membayar 240 juta dollar AS untuk mendapat 1,6 persen saham fb. Ini berarti fb saat ini bernilai 15 miliar dollar.

”Bila kita ingin berhasil pada abad ini, kita butuh lebih saling berhubungan dan kita butuh lebih mengetahui dari mana orang-orang datang dan kita butuh untuk lebih merasa saling terhubung,” kata Zuckerberg (Grown Up Digital, 2009).

Banyak yang setuju dengan Zuckerberg. Organisasi nonpemerintah di Inggris, Demos, menyebutkan, perusahaan tidak usah terlalu khawatir karyawan membuka fb di kantor, apalagi dalam suasana resesi yang menuntut peningkatan produktivitas karyawan.

”Berjejaring dalam situasi resesi mungkin dapat menjadi lebih penting daripada sebelumnya dan bisa berperan nyata dalam bisnis,” kata Peter Bradwell dari Demos.

Saran itu tidak berlebihan. Kimberley Swan (16), karyawati di Clacton, Essex, Inggris, dipecat dari perusahaannya, Ivell Marketing & Logistic, gara-gara mengeluh kepada teman-temannya di fb, bosan dengan tempat kerjanya.

Sebuah perusahaan penerbitan majalah di Jakarta melarang karyawannya membuka fb di kantor karena khawatir menghabiskan jam kerja dan memberi beban tambahan pada server komputer. Mungkin yang diperlukan adalah membatasi berapa lama karyawan dapat menggunakan fb untuk interaksi pribadi.

Namun, fb bukannya tanpa cacat. Peringatan datang dari peneliti dan penulis buku Don Tapscott. Dia menyebut, remaja seringkali terlalu bersemangat menggunakan fb untuk memperlihatkan identitas pribadinya sehingga tidak ada lagi yang disembunyikan, termasuk mungkin bolos sekolah atau keisengan lain remaja (Grown Up Digital, 2009).

Padahal, perusahaan kini melacak pelamar kerja juga melalui berbagai jejaring sosial di internet, termasuk fb. Dengan kata lain, tetap harus hati-hati memberi data pribadi di jejaring sosial.

Jelas, teknologi internet mengubah cara manusia berinteraksi, tetapi interaksi di internet pun sangat dipengaruhi cara manusia berinteraksi.

Prof BJ Fogg, penyelenggara mata kuliah Psychology of Facebook di Stanford University, menggambarkan sebagai, ”Facebook saat ini menang karena menempatkan teman pada posisi terpenting. Cara kita berteman membentuk pengalaman kita di internet. Tidak ada teknologi lebih baik daripada pertemanan kita.”

Face Book

Langsung Tepat Sasaran
Minggu, 15 Maret 2009 | 06:52 WIB

Keberhasilan Barack Obama memanfaatkan jaringan sosial di facebook (fb) saat kampanye Pemilihan Presiden Amerika Serikat tahun lalu menunjukkan, fb tidak hanya bisa untuk mencari teman-teman lama dan reuni. Fb ternyata juga efektif untuk kepentingan lebih serius.

Di dunia politik, Obama kemudian menginspirasi banyak politikus lain untuk memanfaatkan jejaring sosial di fb guna menggalang dukungan.

Revitriyoso Husodo, pelukis dan Koordinator Galeri Publik Jakarta, berkampanye untuk kursi di DPD melalui fb. Di fb ia membuat grup untuk prakondisi program kerjanya. ”Minggu ini aku membuat pertemuan serentak di Jakarta, Surabaya, dan Yogyakarta dengan isu membangun UMKM bagi anak jalanan. Undangannya melalui fb,” ungkap dia.

Aktivis politik dan calon presiden independen, Fadjroel Rachman, pun berusaha menggalang dukungan di fb. ”Aku memakai fb ketika mulai berkampanye Maret 2008. Aku butuh media untuk menyampaikan ide capres independen kepada publik karena uji materi di Mahkamah Konstitusi perlu dukungan semua pihak, termasuk media massa, akademisi, intelektual, sampai LSM,” sebut Fadjroel melalui fitur pesan pribadi di fb, hari Jumat (13/3).

Menurut Fadjroel, pemakaian fb efektif mendukung kampanyenya karena jaringan pertemanannya di fb meliputi orang-orang strategis di berbagai bidang. ”Ada Rosiana Silalahi, Bambang Harymurti, Endin Bayuni, Gadis Arivia, Rocky Gerung, sampai Mira Lesmana dan Riri Riza. Lalu ada jaringan ikatan alumni ITB dan UI,” ujar dia.

Fadjroel saat ini sudah memiliki dua akun fb, dengan jumlah teman mencapai 10.000 orang dalam waktu delapan bulan. Menurut dia, diharapkan sampai tahun 2014 anggota jaringannya sudah mencapai 75.000-100.000 orang untuk mendukungnya sebagai capres independen 2014.

”Obama mendapat sumbangan kampanye hingga Rp 6,9 triliun dari tiga juta pemakai internet, termasuk anggota fb. Kupikir, Rp 1 miliar-Rp 2 miliar bisa kuperoleh dengan cara sama,” imbuh Fadjroel lagi.

Lebih efektif

Demikian juga di dunia bisnis, beberapa pelaku usaha mulai memanfaatkan jejaring fb untuk menawarkan produk kepada para anggota fb yang sesuai dengan target pasar mereka. Sebuah toko pakaian balita dan ibu menyusui, My Queena, misalnya, membuat akun fb dan memajang foto produk dan sebuah nomor telepon seluler untuk membuat pesanan melalui SMS.

Bram Kushardjanto, pendiri dan pimpinan Gelar, memanfaatkan jaringan fb untuk mempromosikan konser ”Indonesia Big Band Concert Plays Indonesian Classic: A Tribute to Ismail Marzuki” di Usmar Ismail Hall, Jakarta, Jumat (23/1).

Waktu itu Bram tidak mendapat sponsor sehingga tak bisa memasang iklan di media massa. Sebagai gantinya, ia mengumumkan acara itu melalui berbagai milis dan jaringan teman-temannya di fb. Hasilnya, 90 persen tempat duduk terisi.

Irwan Edianto, Direktur Produksi Kreatif DBB/Vertigo, yang menggelar festival musik independen LA Lights Indiefest 2008, juga memanfaatkan jaringan fb untuk mempromosikan band- band terbaik alumni acara tersebut. ”Melalui fb, kita bisa langsung bertemu dengan target user, anak-anak muda penggemar band-band indie tersebut. Jadi promosinya lebih efektif tanpa biaya apa pun,” tutur Anto.

Penulis novel Zara Zettira ZR tidak sengaja mendapatkan mitra kerja di fb. Beberapa bulan lalu, setelah merampungkan novel Prahara Asmara, Zara bertemu Kafi Kurnia dari Penerbit Akoer di fb.

”Aku ditawari Kafi untuk menerbitkan bukuku, ya langsung saja aku terima,” tutur Zara. Buku itu sudah dicetak dan nangkring di toko-toko buku.(DHF/IVV)

Dunia "Tersihir" Facebook

Budi Suwarna

Demam facebook sedang melanda. Orang seperti keranjingan berbagi informasi, rasa, canda, tawa, hasrat, ekspresi, dan impian lewat jaring sosial di dunia maya ini. Bahwa di dunia nyata sehari-sehari mereka tidak saling menyapa, itu persoalan lain. Beginilah cara paling modern generasi sekarang memelihara relasi sosial dan kekerabatannya.

Tengoklah situs apa yang sedang dibuka teman atau kerabat Anda? Boleh jadi, jawabannya facebook (fb). Ya, situs jaringan sosial di internet ini, sekarang, sedang amat populer. Anak sekolah, mahasiswa, karyawan, hingga ibu rumah tangga terutama di kota-kota besar menggunakan facebook.

Tidak hanya menggunakan, sebagian orang bahkan sudah dalam tahap keranjingan fb. Salah satunya adalah Priscilla F Carlita, karyawan swasta. Sejak bangun tidur, gadis cantik ini langsung membuka fb. Ketika tiba di kantor, dia membuka lagi fb-nya hingga waktu pulang kantor tiba. Sambil bekerja, sesekali dia melirik pesan dan komentar baru yang masuk lewat fb.

Sesampai di rumah, Priscilla kembali membuka situs itu sekadar untuk mengintip aktivitas sebagian dari 1.600 lebih teman di situs itu. ”Rasanya, ada yang kurang kalau enggak membuka fb. Gue bisa kehilangan informasi mengenai teman-teman,” kata Priscilla, yang bergabung dengan situs itu sejak enam bulan lalu.

Daya tarik

Apa sebenarnya daya tarik fb? Linda Fitriesti, PR Trans7, mengatakan, di situs itu dia bisa melihat foto, ekspresi, dan mengetahui aktivitas teman-temannya. ”Biasanya, gue akan memberikan komentar-komentar gokil. Kalau mereka membalas, gue senang banget. Rasanya, gue eksis,” ujarnya, Rabu, sambil tertawa.

Di situs ini Anda memang bisa melihat dan dilihat orang, mengetahui dan diketahui orang, mengomentari dan dikomentari orang tanpa ada yang melarang. Hasrat narsistik setiap orang pun benar-benar bisa terlampiaskan. Tengoklah foto-foto seperti apa yang dipasang pengguna fb. Kalau bukan foto keluarga dan teman-teman lama, mereka hampir pasti menyisipkan foto nampang di luar negeri atau pada momen-momen spesial.

Karena itu, momen seperti Axis Jakarta International Java Jazz Festival 2009, yang bertabur bintang luar negeri dan harga tiketnya selangit bagi kebanyakan orang, menjadi amat penting bagi sebagian pengguna fb. Ketika Matt Bianco tampil di ajang ini pekan lalu, seorang perempuan penonton memotret dirinya menggunakan Blackberry dengan latar belakang aksi grup jazz kaliber dunia itu.

Setelah selesai, saat itu juga dia langsung mentransfer foto itu ke dinding fb-nya. Kepada teman di sebelahnya dia berkata, ”Gue kasih komentar, ’Gue nonton Matt Bianco, bo!’”

Tengok pula pesan-pesan yang ditulis di dinding fb. Hampir semuanya masalah remeh-temeh. Putri (26), ibu rumah tangga di Ciputat, misalnya, menulis pesan yang isinya sekadar mengabarkan bahwa dia sedang deg-degan menunggu apakah adonan kue donatnya akan mengembang atau bantat. Di Aceh, Mahdi mengabarkan, dirinya sedang menghangatkan makanan kiriman ibunya. Di Bekasi, Herry mengabarkan sedang minum kopi.

Pesan Herry itu dikomentari seorang teman: ”Busyet, pagi-pagi udah ngopi. Kopinya apaan?” ”Mau tau aja lu,” balas Herry.

Namun, banyak pula status yang serius dan berbau propaganda. Haris Rusli, seorang aktivis, menulis, ”Gulingkan SBY....” Dan seorang teman berkomentar, ”Setelah gulingkan SBY, lalu gulingkan aku dong....”

Haris belingsatan. ”Wah, aku gak kenal tuh cewek, bisa bahaya,” kata Haris yang belum lama menikah ini. Ia pun buru-buru menghapus nama cewek itu dari daftar temannya.

Komunikasi baru

Begitulah. Seremeh-temeh apa pun yang dibicarakan orang di fb, situs ini terbukti sukses menjadi media komunikasi baru yang sanggup merajut relasi sosial. Proses terbentuknya jaring sosial dan persahabatan di fb berlangsung cepat. Di fb, orang tak hanya mencari, tetapi juga dicari.

Hal ini dirasakan Esther (44). Tiga bulan lalu, karyawan swasta ini belum tahu alamat teman-teman lamanya. Setelah bergabung di fb, tiba-tiba saja teman-teman SMA, SMP, SD, bahkan TK-nya bermunculan.

”Saya nyaris tak percaya. Sekarang saya tahu mereka lagi ngapain aja,” katanya. Esther dan teman-teman SMA yang terpisah sejak 25 tahun lalu itu pun menggelar reuni di Jakarta pekan lalu. Sabtu kemarin giliran dia dan teman-teman SMP-nya menggelar reuni.

”Saya sedang ngumpulin teman-teman SD untuk reunian. Kalau perlu, teman TK juga, ha-ha-ha,” ujarnya, riang.

Umar Ibnu (39), dosen warga Ende, Nusa Tenggara Timur, mulanya enggan bergabung dengan fb. Koneksi internet di daerahnya sering kacau dan hanya ada lima warung internet di kotanya. Namun, atas saran teman, ia pun mendaftar. ”Asyik juga, ternyata banyak yang mencari-cari saya. Sekarang, saya tak sabar untuk membuka fb di kantor. Maklum, gak ada internet di rumah,” katanya.

Tidak semua kisah tentang fb menyenangkan. Tengok pengalaman Adhi (33), seorang manajer perusahaan konstruksi di Jakarta, akhirnya memutuskan menutup fb-nya karena menjadi pangkal percekcokan dengan sang pacar. ”Awalnya menyenangkan, tetapi lama-lama menjadi pangkal masalah. Dia cemburu kalau saya menyapa teman-teman cewek saya, saya juga gak terima dia berakrab-akrab dengan teman cowoknya,” ujar Adhi.

Menurut dia, yang paling sering menjadi pangkal masalah adalah tulisan di dinding atau komentar terhadap status. ”Orang sering tidak sadar bahwa tulisan di dinding atau komentar itu bisa dibaca semua orang, jadi kalau dia menyapa teman cowoknya dengan panggilan mesra, teman-teman saya suka berpikir tidak enak,” tuturnya.

Akhirnya, ia dan pacarnya sepakat untuk sama-sama menutup fb. ”Manfaatnya tidak signifikan. Toh sebelum ini saya juga bisa hidup tanpa fb,” tukasnya.

Jadi, fb hanyalah sebuah sarana, pahami aturan mainnya. Dan jangan lupa untuk tetap menyapa orang di dunia nyata. (Dahono Fitrianto/Susi Ivvaty)

Jumat, 13 Maret 2009

Permintaan Layanan Internet Melonjak


Jumat, 13 Maret 2009 | 04:18 WIB

Kakarta, Kompas - Operator telekomunikasi kini kewalahan menghadapi tingginya permintaan atas layanan internet berkecepatan tinggi. Hingga kini, pembangunan infrastruktur telekomunikasi belum mampu mengimbangi laju permintaan masyarakat.

”Pelanggan tumbuh secara eksponensial di luar prediksi kami. Belum ada proyeksi waktu kapan pertumbuhan akan berhenti. Supaya pelanggan lama tak dirugikan oleh pelambatan kecepatan internet akibat pertambahan pelanggan, kami sampai mengerem pemasaran,” kata Teguh Prasetya, Group Head Brand Marketing PT Indosat Tbk, Kamis (12/3) di Jakarta.

Tahun 2008, pelanggan Indosat Mega Media (IndosatM2) tumbuh 600 persen. ”Awal tahun lalu, jumlah pelanggan kami hanya 50.000 orang, namun di akhir tahun sudah 250.000-300.000 orang,” ujar Teguh.

Padahal, lanjut Teguh, target pertumbuhan pelanggan tahun lalu hanya 200 persen.

Situasi yang sama dialami operator telekomunikasi PT Excelcomindo Pratama Tbk. ”Baru dua minggu kami meluncurkan XL Internet Unlimited Prabayar, pelanggannya sudah mencapai 10.000 orang. Kami optimistis bisa mencapai 150.000 pelanggan di akhir tahun,” kata GM Corporate Communication XL Myra Junor. Layanan XL Internet Unlimited Prabayar baru menjangkau wilayah Jabotabek.

Adapun layanan internet kecepatan tinggi IndosatM2 dapat diakses di 30 kota, dengan target hingga 130 kota di Indonesia. ”Selain di Jawa, pertumbuhan pelanggan terbesar ada di Lampung, Bali, dan Makassar,” kata Teguh.

Untuk menjawab keluhan pelanggan, kata Teguh, hingga akhir April dibangun 1.000 menara base transmition station (BTS) jenis New Node B untuk jaringan 3G. Sementara pelebaran kapasitas jaringan 2G IndosatM2 targetnya selesai dibenahi akhir bulan ini.

”Sementara waktu kami mengatur bandwitdh. Jadi, kecepatan internet lebih tinggi, diperoleh oleh kelas pelanggan yang lebih tinggi,” kata G Gatut Wibisono, Division Head Postpaid Brand Management Indosat. (RYO)

Selasa, 10 Maret 2009

FEATURE


Jumat, 20 Februari 2009 | 21:28 WIB
Tampil Modis dengan Ruang Dengar Dinamis
Sejarah baru menikmati musik tercipta saat Sony luncurkan walkman. Alat ini membuat orang bisa menikmati musik kapan saja dan dimana saja
Tutorial
Senin, 2 Maret 2009 | 15:28 WIB
Membuka Dokumen Corrupt
File penting Word Anda mendadak rusak dan tidak bisa dibuka? Jangan khawatir! Coba gunakan Text Recovery Converter.

Pengguna Google


Jumat, 6 Maret 2009 | 14:37 WIB


JAKARTA, JUMAT - Jumlah pengguna Google Book Search Indonesia berada di peringkat kedua di Asia, mengalahkan China dan Malaysia. Tingginya angka tersebut merupakan hasil kontribusi nyata dan kerja keras para penerbit buku Indonesia yang aktif mengirimkan data buku-buku mereka ke dalam Google Book Search. Google Inc mendapuk India untuk menempati posisi teratas di Asia. Sementara itu, di urutan pertama "top ten" jumlah pengguna Google Book Search di seluruh dunia ditempati oleh AS.

Data tersebut diungkapkan oleh Erik Hartmann, Strategic Partner Development Google, saat mempresentasikan Google Book Search pukul 09.00 pagi tadi (6/3) di Gedung PBMM (Penerbit Buku Kompas Gramedia), Palmerah Selatan. Kedatangan Erik, perwakilan Google dari Singapura itu, dalam rangka memenuhi undangan 'Diskusi Terbatas Google - PBMM', yang dimoderatori oleh Edi Taslim dari Kompas.com.

"Teknologi selalu berubah dan ini baru terjadi pada kami, yaitu sebuah model baru bisnis teknologi," tutur Erik kepada Kompas.com seusai presentasi. "Dan kami berterima kasih kepada para penerbit di grup Gramedia yang telah begitu aktif mengirimkan data-data buku mereka kepada kami," tambahnya.

Erik mengatakan, hadirnya Google Book Search ini bukan tidak mungkin semakin menyemarakkan nadi bisnis bidang penerbitan di Indonesia. "Kemungkinan itu besar sekali mengingat online channel di Indonesia juga terus mengalami perkembangan yang signifikan, baik itu dari sisi kebijakan, jumlah provider, serta media yang bermain di industri ini," tambahnya.

Terkait perkembangan tersebut, Erik menyontohkan prospek industri penjualan buku online di AS tahun lalu. Penjualan online mampu mencetak angka 13 persen, hanya selisih 5 persen lebih kecil dari penjualan langsung di toko buku. Jualan online tersebut bahkan mampu mengalahkan penjualan di klub baca buku yang hanya mencapai 5 persen.

"Dan tentu saja, penjualan dengan cara ini akan membuat strategi pemasaran para penerbit akan semakin luas, apalagi tidak perlu biaya untuk calon konsumen mengaksesnya," tandas Erik.

Zuckerberg, Si Pembuat Facebook

Sabtu, 28 Februari 2009 | 12:43 WIB

Joice Tauris Santi dan Simon Saragih

Lebih dari seratus juta warga dunia kini keranjingan dengan jaringan sosial di dunia maya, Facebook.com. Lewat situs ini, pengguna dapat memperluas pertemanan lintas benua, bahkan kembali ”bertemu” dengan kawan-kawan atau pacar lama yang tidak terlihat lagi seusai perpisahan sekolah.

Presiden AS Barack Hussein Obama bahkan memanfaatkan situs ini sebagai salah satu cara untuk meraih dukungan dalam Pemilihan Presiden AS, tahun lalu. Inilah buah karya Mark Elliot Zuckerberg, seorang keturunan Yahudi AS, salah satu dari tiga pendiri Facebook.

Mengapa Facebook melejit? Pakar teknologi informasi, Dr Linda M Gallant, Asisten Profesor dari Emerson College, Boston, memberi penjelasan, ”Situs internet umumnya menyajikan informasi dan para penjelajahnya hanya menerima apa adanya. Sekarang ini para penjelajah ingin berpartisipasi sebagai pengisi situs. Facebook memenuhi hasrat itu.”

Mengapa Facebook mengejar My Space, situs jaringan sosial terbesar pertama di dunia sebelum April 2008? Keadaan bahkan sudah berubah, Facebook tidak lagi nomor dua sebagaimana ditulis di situs Techcrunch.

Situs Mashable (The Social Media Guide) menyatakan, desain Facebook lebih enak dilihat dan dijelajahi serta menawarkan hal-hal yang lebih riil. Sebagai contoh, Facebook menawarkan orang lain yang kira-kira Anda kenal untuk di-add (ditambahkan) jadi teman. My Space juga menyodori Anda beberapa teman, tetapi termasuk menyodori orang-orang dari negeri antah berantah menjadi teman.

Apa pun latar belakang kemajuan Facebook, nama Zuckerberg sudah melejit ke seluruh dunia seperti meteor. Banyak pengguna Facebook yang merupakan orang-orang elite dunia. Facebook juga menjadi sarana komunikasi para karyawan Toyota, Ernst & Young, dan perusahaan kaliber dunia lainnya.

Siapa Zuckerberg? Dia adalah pemuda berusia 25 tahun dan masih singel, perancang teknologi informasi sekaligus pemuda berjiwa wiraswasta. Saat belajar di Harvard University pada tahun 2004, dia menciptakan Facebook bersama kawannya, Dustin Moskovitz dan Chris Hughes.

Hughes kemudian direkrut Obama saat masih menjadi calon presiden untuk membuat situs barackobama.com.

Di Facebook, Zuckerberg bertanggung jawab untuk urusan garis kebijakan umum dan penyusunan strategi perusahaan yang kini menjadi rebutan para pemasang iklan dan para investor.

Zuckerberg telah mendapat julukan sebagai ”salah satu orang yang paling berpengaruh pada tahun 2008” versi majalah Time. Pada Forum Ekonomi Davos 2009, Zuckerberg termasuk dalam daftar pemimpin muda karena prestasi dan komitmen terhadap masyarakat serta berpotensi menyumbangkan ide untuk membentuk tatanan dunia baru.

Pemuda itu tampil dalam sesi ”Pengalaman Digital Mendatang” pada Forum Ekonomi Dunia di Davos, Swiss. Peserta lain yang hadir antara lain Chad Hurley (YouTube), Craig Mundie (Microsoft), Shananu Narayen (Adobe), Hamid Akhvan (T-Mobile), dan Eric Clemmons (Wharton).

Salah satu poin menarik yang diberikan Zuckerberg adalah bahwa lebih dari 100 juta orang secara aktif menggunakan aplikasi bergerak pada Facebook. iPhone Facebook saja telah memiliki 5 juta pengguna aktif bulanan dan Blackberry untuk Facebook memiliki 3,25 juta pengguna aktif bulanan.

Kiprah Zuckerberg lewat Facebook melesat seperti roket. Pada Februari 2004 ketika Zuckerberg meluncurkan program itu, para siswa di AS langsung membuka akun di Facebook dan dari mulut ke mulut menyebar hingga merambah ke sekolah dan universitas lain.

Zuckerberg dan timnya pun kemudian pindah ke Palo Alto, California, dan mulai merangkul investor, seperti pendiri PayPal, Peter Thiel, dan pendiri Napster, Sean Parker.

Pada Agustus 2005, Zuckerberg secara resmi menamakan perusahaannya Facebook. Setelah berhasil mengumpulkan modal 12,7 juta dollar AS, dia mengembangkan perusahaan ke level berikutnya. Situs itu secara bertahap dan konsisten terus memperluas jaringan.

Saat ini ada lebih dari 175 juta pengguna aktif dengan berbagai fasilitas yang ada di situs itu. Facebook kini menjadi situs keempat yang paling sering dikunjungi di dunia.

”Pencuri”

Tentu saja sukses Zuckerberg dibarengi dengan kontroversi. Beberapa teman sekolahnya menuduh dia mencuri ide ConnectU untuk Facebook. Namun, gugatan soal itu ditepis pengadilan. Dia menyebabkan kehebohan karena dianggap ”menjual” data-data pribadi pemilik akun, tanpa menghargai privasi.

Pada tahun 2006, Zuckerberg mencengangkan dunia karena menampik tawaran Yahoo untuk membeli Facebook seharga 1 miliar dollar AS (atau sekitar Rp 12 triliun). Setahun kemudian, Microsoft membeli 1,6 persen saham Facebook seharga 240 juta dollar AS. Kini nilai ekonomi Facebook ditaksir sebesar 15 miliar dollar AS.

Zuckerberg yang lahir dari keluarga dokter yang kaya memiliki 20 persen saham di Facebook senilai 3 miliar dollar AS. Majalah Forbes mendeklarasikan Zuckerberg sebagai miliuner ”self made” termuda di planet ini.

Namun, jangan tanyakan perihal kehidupan pribadinya, tidak banyak yang diketahui. Maklum, ketika di SMA pun dia sudah berkutat dengan urusan komputer. Ketika itu dia ingin membantu jaringan yang dimiliki ayahnya untuk dipertemukan lewat dunia maya.

Kebiasaan ini terus melekat dan dia lupa belajar. Karena urusan komputer dan teknologi informasi inilah dia drop-out dari Harvard.

Entah iseng atau tidak, Facebook kini kebanjiran uang. ”Mengherankan juga, begitu banyak tawaran datang,” kata Zuckerberg kepada Techcrunch pada 7 Desember 2008.

Tidak banyak kalimat lain dari Zuckerberg selain ambisinya terus membuat Facebook senyaman mungkin untuk jadi alat penyatu warga dunia. ”Bukankah kami memiliki situs, yang membuat Anda merasa lebih enak menggunakannya?” ujar Zuckerberg.

Hmmm.... Zuckerberg, iya deh! *