Sabtu, 22 Agustus 2009

KOMPAS cetak - "Online... Online..." Bisa Berurusan dengan Polisi

KOMPAS cetak - "Online... Online..." Bisa Berurusan dengan Polisi: "Online... Online...' Bisa Berurusan dengan Polisi

Sabtu, 22 Agustus 2009 | 02:54 WIB

Lagu berjudul ”Online” yang dinyanyikan oleh Saykoji begitu cepat meraih popularitas. Selain lagunya yang enak didengar, syairnya juga sangat pas menyindir kegemaran berselancar di internet atau online melalu situs jejaring sosial seperti Facebook, Twitter, MySpace, atau Friendster.

Namun, jika dipakai untuk berbuat iseng, pengguna situs jejaring sosial bisa berurusan dengan polisi, seperti yang dialami Ardi Hurori (25), warga Palembang. Ardi melapor ke Polda Sumsel karena menjadi ”korban” pengguna Facebook."

Rabu, 19 Agustus 2009

Produk & Bisnis -

Produk & Bisnis -: "XL Menggugugat Balik"

Senin, 17 Agustus 2009

Sabtu, 15 Agustus 2009

Jumat, 31 Juli 2009

Teknologi TV Makin Mengernyitkan Dahi


Jumat, 31 Juli 2009 | 04:19 WIB

AW Subarkah

Memilih saluran televisi sekarang ini sudah semakin tidak sederhana lagi sekalipun perkembangan di negeri ini masih dalam kategori awal. Televisi yang ada di dalam benak sebagian besar masyarakat masih berupa tayangan yang ditangkap dari pancaran siaran sebuah stasiun TV.Dengan belasan stasiun TV yang mengudara sekarang saja, sudah tidak mudah mencari program-program yang diinginkan. Apalagi ketika migrasi ke sistem siaran digital yang direncanakan tahun 2018 sudah sepenuhnya terjadi, akan lebih rumit lagi, mengingat satu kanal pada sistem analog bisa digunakan sampai enam kanal digital.

Aplikasi teknologi digital akan membawa dampak yang besar bagi industri pertelevisian. Setidaknya, layanan konvensional ini akan terpecah menjadi dua, yaitu penerimaan tidak bergerak (fixed reception) dan penerimaan bergerak (mobile TV) yang menggunakan pita frekuensi UHF.

Kerumitan sebenarnya sudah mulai dirasakan oleh mereka yang sudah berlangganan TV kabel ataupun TV satelit, bukan hanya puluhan kanal, tetapi bahkan bisa sampai ratusan kanal TV. Setidaknya dari sini sudah mulai muncul pemahaman baru menyaksikan acara TV.

Yang lebih dahsyat sebenarnya adalah munculnya Internet Protocol TV (IPTV), yaitu layanan TV yang disalurkan melalui media internet. Layanan terbatas mungkin masih bisa ditandai dengan mudah, tetapi layanan terbuka dari situs-situs yang berasal dari seluruh dunia yang nyaris tidak terbilang jumlahnya.

Semua situs di internet sekarang bisa membuat layanan TV, bergantung pada kemauan pengelola dan tentu juga ketersediaan dana. Bahkan situs dalam negeri seperti Kompas.com sudah memberikan layanan ini sejak tahun lalu hanya karena biaya akses internet yang masih dirasakan mahal dan lambat yang membatasinya.

Soal waktu saja cara baru menikmati layanan TV juga akan memengaruhi masyarakat. Bahkan, pihak pemerintah juga sudah menyiapkan lelang untuk infrastruktur jaringan pita lebar WiMAX yang khusus bagi Indonesia akan ditempatkan pada pita frekuensi 2,3 GHz, selain itu juga mengantisipasi datangnya IPTV itu sendiri.

Memang layanan yang ideal untuk penerimaan tidak bergerak adalah menggunakan serat optik (FO). Beberapa negara, termasuk Singapura, sudah merintis apa yang disebut fiber to home. Namun, untuk kondisi kota besar seperti Jakarta yang tidak teratur, luas tampaknya tidak menguntungkan untuk menggelar jaringan FO.

Generasi keempat

Dunia saat ini memang sudah memasuki generasi keempat untuk layanan telekomunikasi nirkabel. Selain WiMAX yang dirancang oleh para penggerak teknologi informatika, juga Long Term Evolution (LTE) yang dikembangkan vendor-vendor seluler, terutama dari kelompok pengembang GSM.

Teknologi pita lebar inilah yang diharapkan bisa menjadi sarana yang empat-lima tahun lalu dikonsepkan dengan triple play, satu saluran untuk tiga layanan yang berbeda. Selain tetap sebagai sarana berkomunikasi suara, satu saluran itu juga bisa digunakan sebagai sarana hiburan dan data (internet).

Dua layanan yang terakhir ini yang mendorong berkembangnya IPTV, apalagi bandwidth internasional juga sudah semakin lebar. Bahkan, dalam pameran komunikasi dan informatika, seperti CommunicAsia yang berlangsung Juni lalu di Singapura, yang sangat menonjol adalah masalah IPTV.

Topik hangat IPTV sebenarnya bukanlah isu baru, tetapi mereka mulai banyak melihat keuntungan yang bisa didapat, termasuk bagaimana menggaet iklan. Pameran ini juga dimeriahkan dengan lahirnya telepon seluler transparan pertama dunia, LG Crystal GD900, dan generasi terbaru telepon seluler pintar, Samsung Jet.

Pihak Departemen Komunikasi dan Informatika pada saat ini juga telah selesai menyusun Rancangan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika tentang Penyelenggaraan Layanan IPTV di Indonesia. Pengertian IPTV di sini lebih dimaknai sebagai layanan TV secara tertutup, biasanya juga memberikan layanan berkelas high definition (HD), di mana pengakses adalah pelanggan berbayar dan jaringan sebatas yang dimiliki oleh penyelenggara.

IPTV yang berkembang sejak 2007 ini sekarang makin berkembang, khususnya di kawasan Eropa Barat dan Amerika. Di Indonesia sendiri dikatakan sudah ada beberapa penyelenggara telekomunikasi yang sudah sangat berminat dan siap untuk menyediakan layanan tersebut.

Layanan IPTV menyajikan program-program TV interaktif dengan gambar berkualitas tinggi (HD) melalui jaringan internet pita lebar (broadband). Ragam layanan IPTV di antaranya Electronic Program Guide, Broadcast/Live TV, Pay Per View, Personal Video Recording, Pause TV, Video on Demand, Music on Demand (Walled Garden), Gaming, Interactive advertisement, dan T-Commerce.

Pihak pemerintah lebih condong melihat teknologi infrastruktur jaringan yang akan digunakan mengarah pada penggunaan teknologi packet switched yang berbasis protokol internet. Dengan demikian, IPTV dipandang sebagai salah satu bentuk konvergensi antara telekomunikasi, penyiaran, dan transaksi elektronik.

Sementara secara paralel migrasi penyiaran analog ke TV digital juga baru memasuki tahun pertama dari rencana 10 tahun ke depan. Selain sudah dimulai dengan penyebaran perangkat set-top box agar TV lama (analog) masih tetap bisa menikmati layanan bertransmisi digital, juga sudah ada TV dengan tuner digital sesuai dengan standar Indonesia.

Semua ini akan memberikan tantang baru bagi mereka yang akan terjun ke dunia bisnis pertelevisian, tidak terkecuali bagi mereka yang sudah eksis sekarang. Paradigma baru menonton televisi akan segara berubah, strategi bisnis juga harus menyesuaikan atau tergusur dari arena ini.

WiMAX Vs LTE, "Broadband" Masa Depan?


Jumat, 31 Juli 2009 | 04:18 WIB

Sumaryo

Beberapa saat terakhir, kita sering mendengar istilah-istilah WiMAX mobile dan juga Long Term Evolution atau LTE. Apa sih sebenarnya kedua terminologi ini?

Kalau melihat asalnya, jelas keduanya berbeda. WiMAX merupakan keluaran dari WiMAX Forum, sebuah organisasi yang berawal dari komunitas internet (IP based), sementara LTE merupakan keluaran dari 3GPP atau 3G Partnership Program, gabungan atau kelompok penyelenggara layanan seluler yang asal mulanya dari layanan telekomunikasi.

Dari sisi teknologi, keduanya mengacu pada teknologi nirkabel pita lebar (wireless broadband) yang mengusung teknologi modulasi OFDMA hingga 2048 FFT. Secara sederhana, teknologi ini memungkinkan tingkat efisiensi penggunaan spektrum frekuensi yang sangat tinggi, lebih dari 5 bps untuk tiap Hz bandwidth yang dipakainya. Dengan demikian, untuk lebar pita 20 MHz, sistem modulasi ini mampu memberikan kecepatan download/upload hingga 100 Mbps.

Jika digabungkan dengan teknologi sinkronisasi antar-BTS serta antena pintar seperti beam focused ataupun MIMO, dalam satu BTS teknologi ini memungkinkan kapasitas hingga 500 Mbps untuk lebar pita frekuensi yang sama–20 MHz. Jika seandainya tiap pemakai dialokasikan 1 Mbps, teknologi ini akan mampu melayani pelanggan bersamaan (concurrent user) hingga 500 pelanggan per BTS.

Bandingkan dengan teknologi 3G yang hingga saat ini hanya mampu melayani lebih kurang 32 pelanggan bersamaan per BTS, tentu saja teknologi WiMAX mobile maupun LTE sungguh menarik bagi para penyedia layanan wireless broadband. Tentu saja dengan kapasitas sebesar itu, diperlukan sarana/kemampuan backhaul ataupun backbone yang cukup memadai.

Jika saat ini untuk tiap BTS 3G cukup disediakan backhaul sebesar 4 x E1 (8 Mbps) atau bahkan kurang dari itu, penggelaran WiMAX mobile maupun LTE akan memerlukan backhaul ataupun backbone yang jauh lebih besar, mungkin berkisar pada angka 500 Mbps tentunya. Nah, teknologi apa yang dapat dipergunakan untuk backbone yang besar ini?

Yang paling memungkinkan tentu saja kabel serat optik (FO). Namun juga dapat dipergunakan laser atau free space optic ataupun Gigabit microwave yang sudah mulai tersedia di pasaran.

Bagaimana prospek masing-masing teknologi di atas? Siapakah yang akan memenangi persaingan, atau teknologi mana yang akan diadopsi? Sangat sulit memprediksi karena ini sangat berhubungan dengan kondisi finansial global (seberapa banyak perusahaan mau berinvestasi), regulasi yang mengakomodasi keduanya, dan juga keinginan (ataupun ketidakinginan) penyedia teknologi/vendor untuk menghadirkannya kepada masyarakat luas, serta persepsi masyarakat akan nilai tambah yang diberikan keduanya.

Tidak dapat dimungkiri lagi bahwa beberapa vendor besar (terutama yang berbasis produksi perangkat seluler dan atau 3G saat ini) telah menarik diri atau memutuskan untuk tidak menyokong pengembangan perangkat berteknologi WiMAX mobile, tetapi lebih ke pengembangan LTE. Akan tetapi, tingkat persaingan teknologi ini masih panjang dan hanya waktulah yang akan bisa menentukan teknologi mana yang akhirnya akan dipilih masyarakat.

Sumaryo Pengamat Telematika; Sekjen Broadband Wireless Indonesia (Id-Wibb)

Rabu, 15 Juli 2009

MEDIA MASSA Perpindahan ke Media "Online" sebagai Inovasi


Rabu, 15 Juli 2009 | 03:47 WIB

Jakarta, Kompas - Perpindahan surat kabar menjadi media online mestinya dilakukan bukan sebagai strategi jalan keluar dari ancaman kebangkrutan, melainkan harus dilihat sebagai inovasi atau terobosan bisnis. Dengan demikian, keberadaan surat kabar bisa tetap bertahan dengan penambahan pembaca lewat media online-nya.

”Tiap tahun media cetak diramalkan mati, terutama sekarang, oleh internet. Di Amerika Serikat memang sudah terjadi. Lalu mereka memakai media online sebagai exit strategy. Cara itu sangat berbeda dengan di Eropa yang memakai media online sebagai inovasi,” kata Lukas Widjaja, Pemimpin Perusahaan PT Kompas Media Nusantara, yang berbicara dalam seminar Media Industry Review 2009 Belajar dari Kebangkrutan Koran-koran di Amerika Serikat dan Iklan Media Cetak Semester II 2009 yang dilaksanakan Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) Pusat di Jakarta, Selasa (14/7).

Dahlan Iskan, CEO Jawa Pos dan Ketua Umum SPS Pusat, mengatakan, adanya koran ”mati” atau tutup sudah biasa terjadi. Sekitar 40 tahun lalu di AS tanpa internet, sekitar 40 persen surat kabar tutup.

”Perilaku manajemen surat kabar di Amerika itu yang tidak beres. Kebangkrutan yang terjadi di sejumlah koran AS itu secara teknis lebih karena keuangan,” kata Dahlan.

Direktur Utama Mediatrac Andy Sjarif mengatakan optimistis surat kabar tidak mati. Namun, tetap perlu ditemukan terobosan untuk membuat usia surat kabar itu panjang dengan memanfaatkan media online. (ELN)

Jumat, 10 Juli 2009

Google Buat Sistem Operasi Murah


Kamis, 9 Juli 2009 | 05:07 WIB

Sun Valley, Rabu - Perusahaan teknologi Google Inc saat ini tengah membangun sistem operasi baru untuk komputer murah. Hal ini juga merupakan perlawanan terhadap dominasi Microsoft Corp yang selama dua dekade ini menguasai komputer-komputer di dunia.

Sistem operasi baru itu diumumkan Selasa (7/7) waktu setempat pada situs Google. Sistem itu akan berdasarkan web browser Google yang baru berusia sembilan bulan, Chrome.

Google bermaksud mengandalkan bantuan dari komunitas pemrogram open-source untuk mengembangkan sistem operasi Chrome. Sistem ini diharapkan akan dapat digunakan pada semester kedua 2010.

Google yang berbasis di The Mountain View, California, mengungkapkan rencananya mengenai sistem operasi itu setelah kantor berita online Ars Technica dan The New York Times mencantumkan rencana tersebut dalam situs mereka.

Bersaing ketat

Google tengah merancang sistem yang terutama akan digunakan untuk ”netbook” berharga murah, yang merupakan komputer jinjing yang belakangan ini sangat populer bagi konsumen yang mengutamakan penggunaan komputernya untuk berselancar menjelajahi situs-situs. Sistem operasi ini menggambarkan tantangan terbesar Google terhadap nama yang sudah terlebih dahulu eksis, Microsoft. Pertarungan di antara kedua perusahaan teknologi itu telah memanas dalam beberapa tahun belakangan ini.

Sementara itu, Microsoft juga berupaya melawan Google dengan menginvestasikan miliaran dollar AS untuk meningkatkan kemampuan sistem pencarian dan iklan di internetnya. Mesin pencari Microsoft yang disebut Bing berhasil mendapatkan respons yang cukup positif dari pasar. (AP/joe)

Selasa, 30 Juni 2009

TEKNOLOGI INFORMASI Hadirnya Generasi Ke-4 Komunikasi Nirkabel

Yuni Ikawati

Sejak diperkenalkan pada awal dasawarsa tahun 1980-an, sistem komunikasi bergerak nirkabel mengalami perkembangan pesat dari sisi kecepatan, jenis dan kualitas data, serta jarak jangkauannya. Kini pengembangan teknologi ini telah sampai generasi keempat.

Sejak muncul secara komersial pada awal 1983, sistem komunikasi nirkabel yang mobil yang memunculkan telepon genggam telah mengalami revolusi. Dengan memuat serangkaian inovasi teknologi di dalamnya, telepon genggam menjadi kian mungil tetapi berkapasitas tinggi dan makin berkualitas.

Pengecilan ukurannya tercapai karena berkembangnya teknologi mikroelektronika. Dengan ditunjang oleh teknologi informasi dan komunikasi, memungkinkan munculnya jangkauan layanan komunikasi telepon genggam yang kian luas. Fitur atau jenis data beragam juga dapat dipertukarkan, tidak hanya berupa suara, tetapi multimedia hingga ke video.

Layanan telekomunikasi bergerak ini umumnya menggunakan jaringan telepon seluler (ponsel). Jaringan ini tersusun dari banyak sel berbentuk heksagonal. Tiap sel dilayani oleh satu menara pemancar disebut base station (BS) yang meneruskan sambungan komunikasi hingga radius tertentu.

Oleh karena itu, agar komunikasi ponsel tidak terputus perlu menara dalam satu wilayah jangkauan tertentu (sel) bersinggungan dengan jangkauan sel lainnya.

Di daerah perkotaan, tiap sel memiliki jangkauan rata-rata 0,5 mil atau 0,8 kilometer, sedangkan di pedesaan jangkauannya mencapai 5 mil atau 8 km. Di areal terbuka, pengguna dapat menerima sinyal dari lokasi seluler dengan jarak 25 mil.

Regenerasi sistem ponsel dimulai sekitar 38 tahun lalu ketika telepon seluler pertama berhasil diterapkan secara komersial dalam jaringan ARP (auto radio phone) di Finlandia pada tahun 1971. ARP tergolong jaringan seluler generasi 0 (0G).

Sistem analog

Generasi pertama lahir di Amerika Serikat melalui tangan para insinyur di Laboratorium Bell AT&T. Generasi pertama yang menggunakan sistem analog ini disebut AMPS (Advanced Mobile Phone System) yang diperkenalkan Motorola pada tahun 1983.

Teknologi analog masih memiliki beberapa keterbatasan, antara lain dari segi mobilitas dan roaming antarnegara. Untuk mengatasinya, negara Eropa membentuk organisasi Group Special Mobile (GSM) untuk memelopori munculnya teknologi digital seluler yang kemudian dikenal dengan nama Global System for Mobile Communication (GSM).

Sistem analog pada generasi pertama ini kemudian digantikan dengan sistem digital yang lebih baik dari segi keamanan dan kapasitasnya dan biaya layanannya pun lebih rendah. Generasi kedua ponsel ini diwakili oleh munculnya GSM (Global System for Mobile Communication).

GSM muncul pada pertengahan 1991 dan akhirnya dijadikan standar telekomunikasi seluler untuk seluruh Eropa. Sistem ini telah dikembangkan hingga memiliki kapasitas 1800 MHz dan sanggup menyediakan 375 kanal.

Pemakaian GSM kemudian meluas ke Asia dan Amerika, termasuk Indonesia. Indonesia awalnya menggunakan sistem telepon seluler analog yang bernama AMPS (Advanced Mobile Phone System) dan NMT (Nordic Mobile Telephone) kemudian beralih ke GSM. Pada akhir tahun 2005, pelanggan GSM di dunia telah mencapai 1,5 triliun pelanggan.

Pengembangan sistem 2G kemudian melahirkan generasi 2,5 G berupa berupa GPRS (General Packet Radio Service) dengan kecepatan pengiriman data hingga 307 kilobit per detik.

Pada tahun 2001 3G pertama kali diluncurkan secara komersial di Jepang oleh NTT DoCoMo pada standar Wideband CDMA (Code Division Multiple Access). Setalah itu jaringan 3G dengan teknologi CDMA diluncurkan pertama kali di Korea Selatan dan AS.

Sistem komunikasi tanpa kabel generasi ketiga hingga sistem WiFi (Wireless Fidelity) yang telah diterapkan di Indonesia digunakan untuk jaringan lokal nirkabel (Wireless Local Area Networks/WLAN).

Sistem ini awalnya ditujukan untuk penggunaan nirkabel jaringan area lokal (LAN), tetapi kini lebih banyak digunakan untuk mengakses internet.

Belum lama ini mulai diperkenalkan WiMAX (Worldwide Interoperability for Microwave Access) yang merupakan teknologi nirkabel yang menyediakan hubungan jalur lebar dalam jarak jauh. WiMAX merupakan teknologi broadband berkecepatan akses yang tinggi hingga 70 Mbps dan berjangkauan luas.

International Telecommunication Union (ITU) memperkirakan pelanggan ponsel di dunia akan mencapai 4,1 miliar pelanggan menjelang akhir tahun lalu. Akhir tahun 2007 pengguna jaringan 3G di dunia mencapai 295 juta orang. Layanan 3G bisa memberi keuntungan hingga lebih dari 120 miliar dollar AS selama tahun 2007.

Generasi keempat

Di samping kelebihannya, generasi kedua dan ketiga ini masih memiliki beberapa kekurangan, antara lain masalah interferensi dan kualitas pengirimannya yang masih rendah untuk komunikasi bergerak dalam kecepatan tinggi, kata Masashi Yano, Deputy General Manager Kyocera Corporation Jepang, dalam Forum International iBurst, di Jakarta, medio Juni lalu.

Kendala ini kemudian mendasari lahirnya generasi keempat yang disebut iBurst atau HC-SDMA (High Capacity Spatial Division Multiple Access). IBurst adalah teknologi kanal frekuensi lebar atau broadband nirkabel yang dikembangkan ArrayComm.

Optimalisasi lebar kanal dicapai dengan menggunakan beberapa rangkaian antena paralel yang dikembangkan perusahaan Jepang, Kyocera. IBurst diadopsi sebagai standar antarmuka radio HC-SDMA oleh Alliance of Telecommunications Industry Solutions (ATIS).

Dengan rangkaian antena yang dijajar melingkar dapat meningkatkan cakupan frekuensi radio, kapasitas, dan performansi sistem.

Sekarang sistem iBurst memungkinkan konektivitas hingga 1 Mbit per detik dan memungkinkan ditingkatkan hingga 5 Mbit per detik dengan protokol HC-SDMA.

Dengan iBurst dimungkinkan koneksi langsung bergerak baik di dalam dan luar ruangan seperti intranet di perusahaan, jaringan hotspot, dan modul komunikasi pada kendaraan dan telematik otomotif.

IBurst secara komersial telah diterapkan di 12 negara, yaitu di Afrika Selatan, Azerbaijan, Norwegia, Irlandia, Kanada, Malaysia, Lebanon, Kenya, Ghana, Mozambik, Kongo, dan AS.

Di AS, layanan komersial iBurst dimulai Mei 2007 di Dakota Selatan pada areal seluas 174 kilometer persegi yang diliputi oleh 10 BS.

Di kawasan perkotaan dari satu BS dapat melayani pengguna hingga radius 2,4 km dengan kecepatan 850 kbps. Adapun di daerah pinggiran downlink 1 Mbps mencapai hingga radius 5 km.

Perkembangan di Malaysia

Malaysia mendapat lisensi iBurst April 2007 dan mulai masuk tahap layanan komersial Oktober 2007 di Kuala Lumpur. Cakupannya meliputi 1.500 kilometer persegi areal di Lembah Klang dengan 78 BS.

Jaringan ini akan dikembangkan ke Penang, Johor Bahru, dan Kuching.

Layanan itu akan diluncurkan di delapan negara lainnya, termasuk Indonesia, pada tahun ini. Tahun ini iBurst di kelas 4G mulai diuji coba di Bandung dan Surabaya dan selanjutnya akan diterapkan di pedesaan, kata Ida Bagus Danny Premadhi, President Commissioner PT Pata Informatika Nusantara.

Uji coba iBurst dilakukan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya di kampung nelayan di sebelah timur kampus itu untuk menjadi SMA dan SMP.

Layanan yang akan diuji coba meliputi e-learning, telemedicine dan pemantauan lingkungan, dan video conference, urai Gamantyo Hendrantoro dari Pusat Penelitian ICT dan Multimedia ITS.

”Broadband Wireless Access ini ditujukan untuk mengatasi masalah kendala akses komunikasi masyarakat di pedesaan,” jelasnya.

Itu untuk mendukung pelayanan kesehatan di pedesaan dalam hal meningkatkan efisiensi dan cakupan layanan, mengeliminasi biaya transportasi, mendeteksi dini penyakit, mengurangi waktu menunggu, mendukung pendidikan kesehatan.

E-learning digunakan untuk memberi pelajaran pada kelompok khusus, memberikan pelajaran tambahan yang tidak tersedia pada kurikulum reguler, memfasilitasi siswa yang memerlukan pengulangan pelajaran, mendukung kebijakan wajib belajar untuk tingkat SMA di pedesaan.

Bila dipadukan dengan teknologi game, ini akan dapat memajukan pendidikan anak-anak di pedesaan. Mengatasi masalah di SD dan SMP di pedesaan seperti kekurangan staf pengajar dan materi pembelajaran serta metode pembelajaran yang kurang menarik. Pemantauan lingkungan di pedesaan bertujuan untuk meningkatkan produk pertanian dan deteksi dini bencana alam. Pengguna telepon mobile pada tahun 2003 menurut ITU lebih dari 1,1 miliar diperkirakan akan menjadi 3 miliar menjelang tahun 2015.

Di antara pengguna ponsel saat ini, MAS (Multi-antenna signal) processing, termasuk iBurst, telah dioperasikan pada lebih dari 300.000 BS di 17 negara.

Minggu, 28 Juni 2009

Krisis Surat Kabar Pelajaran di Tengah Prahara

Badai krisis keuangan di Amerika Serikat sejak tahun 2007, berkembang menjadi krisis ekonomi global, telah menyeret industri surat kabar negara itu jatuh bangkrut. Stop terbit, mengurangi pekerja, redesain, pun terjadi.

Di tengah upaya merespons gempuran perkembangan teknologi informasi (TI) dan komunikasi, industri surat kabar diempas krisis keuangan. Dari masa ke masa, media baru muncul menjadi alternatif bagi masyarakat. Dalam bukunya Media Now, Straubhaar (2009) menunjukkan fenomena terkini dari perkembangan media, antara lain ditandai kehadiran teknologi multimedia. Teknologi inilah yang memungkinkan terjadinya konvergensi teknologi media, telekomunikasi, dan komputer.

Perkembangan inovatif bidang TI dan komunikasi tersebut bukan hanya menantang produk dan layanan yang lebih dulu ada di pasar. Teknologi ikut memengaruhi gaya hidup masyarakat. Termasuk dalam pola konsumsi media, seperti beralihnya pembaca surat kabar cetak ke online. Media baru ini bukan hanya lebih mudah diakses, tetapi juga lebih murah serta cepat karena dapat diakses lewat telepon seluler.

Dari data yang dirilis Newspaper Association of America, pada tahun 2008, terjadi kenaikan jumlah pengunjung surat kabar online 12,1 persen. Pada tahun 2007 jumlah pengunjung 60 juta dan tahun 2008 meningkat menjadi 67,3 juta. Situs surat kabar nama besar paling banyak diakses, seperti The New York Times, USA Today, The Washington Post.

Krisis ekonomi juga menghantam industri periklanan, tulang punggung keuangan surat kabar. Pada tahun 2006 jumlah total pendapatan iklan industri surat kabar mencapai 49,5 miliar dollar AS, tahun 2008 anjlok 23 persen menjadi 38 miliar dollar AS. Nilai saham perusahaan surat kabar di bursa juga melorot (lihat tabel).

Dampak lebih jauh akhirnya merambah pada gelombang PHK. Sejak Juni 2007 hingga Mei 2009 jumlah karyawan yang kena PHK sudah mencapai 28.177 orang. Kabar terakhir, manajemen The Boston Globe tengah berunding dengan serikat pekerja terkait rencana pemotongan gaji karyawannya.

Pers gagal

Keprihatinan atas kebangkrutan industri surat kabar bukan hanya berdampak besar terhadap pertumbuhan ekonomi, tetapi juga demokrasi AS. Senator Benjamin L Cardin menyatakan, ”Kita perlu menyelamatkan komunitas surat kabar kita dan jurnalisme investigatif yang mereka lakukan.”

Wartawan investigasi Danny Schechter di British Journalism Review (Juni, 2009) mengakui, pers AS punya andil atas terjadinya krisis finansial di AS. Ada hubungan dialektik antara krisis finansial dan kegagalan media. Selain tidak mampu memberikan peringatan dini kepada publik, pers jarang melakukan investigasi terhadap berbagai penyimpangan dalam bisnis finansial, yang berlangsung antara tahun 2002 dan 2007. Media menikmati keuntungan miliaran dollar AS dari belanja iklan yang digelontorkan industri finansial dan real estate, tetapi tak ada sikap skeptis bagaimana uang itu diperoleh.

Wartawan The Washington Post, Walter Pincus, juga melakukan otokritik. Dalam tulisannya di Columbia Journalism Review (Juni, 2009), Pincus mengemukakan, manipulasi media mencapai tingkat tertinggi pada masa pemerintahan Bush. Banyak berita dari kegiatan kampanye public relations. Pers AS tidak kritis terhadap pemerintahan Bush saat membangun dukungan publik untuk menggulingkan Saddam Hussein. Padahal selain menelan korban ribuan jiwa, Perang Irak juga menguras keuangan negara.

Tergantung iklan

Industri surat kabar AS sejak lama ditopang pendapatan dari pelanggan dan iklan, tetapi komposisinya dari masa ke masa terus berubah. Hasil penelitian Robert G Picard (Newspaper Research Journal, 2004) dengan gamblang mengungkapkan perubahan dramatis dalam bisnis surat kabar AS. Pada tahun 1880 pendapatan bisnis surat kabar berasal dari pelanggan dan iklan dengan proporsi sama. Pada abad ke-20 industri surat kabar berupaya meraih jumlah pelanggan lebih besar dengan harga produk rendah, pendapatan iklan diupayakan meningkat. Lambat laun proporsi pendapatan dari iklan menggeser pendapatan surat kabar dari pelanggan. Penambahan modal industri surat kabar juga datang dari dana publik. Memasuki abad ke-21, ketergantungan industri surat kabar menjadi kian besar pada industri periklanan. Proporsi ketergantungan terhadap pendapatan dari iklan mencapai lebih dari 80 persen.

Tantangan jurnalisme

Ketergantungan terhadap iklan telah lama menjadi perhatian pakar media Robert McChesney. Dalam bukunya, The Problem of the Media: US Communication Politics In The 21st Century (2004), ia mengungkapkan bahaya komersialisasi berlebihan terhadap jurnalisme profesional. Dalam pusaran sistem ekonomi pasar bebas yang dianut AS, industri media menjadi salah satu industri penting.

Perusahaan surat kabar berubah menjadi sangat berorientasi mengejar keuntungan dan berkompetisi menguasai pasar. Tekanan kepentingan ekonomi dan politik neoliberal yang cenderung dominan kerap mengalahkan pertimbangan etis yang melandasi praktik jurnalisme profesional. Apalagi pemerintah membuat undang-undang ”kerahasiaan negara dan pencemaran nama baik”, yang mempersulit pers melakukan investigasi terhadap penyimpangan atau mengungkap skandal korporasi dan pemerintahan.

Dalam sebuah wawancara dengan wartawan, Presiden Obama mengatakan bahwa dia telah memetik pelajaran. Rakyat Amerika tak hanya punya toleransi, tetapi juga haus penjelasan dan rasa ingin tahu yang besar terhadap masalah-masalah sulit yang tengah dihadapi. ”Menurut saya, salah satu kesalahan terbesar yang dilakukan Washington adalah mengarahkan Anda (wartawan) untuk menutupi masalah kepada publik”, tuturnya. (Newsweek, 16/5/2009).

Di tengah dinamika persaingan ketat, upaya beradaptasi terhadap perkembangan teknologi media baru, dan perubahan sosial budaya, pers harus tetap menjaga dimensi spiritual jurnalisme profesional. Mengungkap ”kebenaran” dan menjadi ”kompas” bagi masyarakat.

Yohanes Krisnawan Litbang Kompas

Blackberry dan "Payment Gateway"

Tak diragukan lagi, bangsa yang latah adalah bangsa yang hanya menggunakan Blackberry, smartphone, atau Pocket PC-nya untuk sekadar memoles gaya. Jauh dari versi latah ini, ternyata masih banyak perusahaan dan developer yang inovatif memanfaatkan teknologi untuk mempermudah kegiatan keseharian. Amir Sodikin

Paul Sabella, Presiden dan CEO perusahaan Charge Anywhere, begitu memukau peserta Wireless Enterprise Symposium (WES) yang digelar Research In Motion di Orlando, Florida, Amerika Serikat, Mei. Paul mempresentasikan sebuah payment gateway atau alat pembayaran bergerak sederhana yang bisa digunakan di mana pun asal ada koneksi internet.

Tak menyangka, di tangan Charge Anywhere, gadget kecil bernama Blackberry bisa menjadi alat yang bertenaga, sebagai sarana pembayaran yang aman untuk transaksi kartu kredit maupun kartu debit. Walau tampak remeh-temeh, metode Point of Sale (POS) Charge Anywhere sudah diakui dunia.

Charge Anywhere telah memenangi penghargaan Best of Interop Innovative Business Technologies Award untuk kategori keamanan terbaik bidang Payment Card Industry (PCI).

Dengan demikian, dari sisi keamanan, Charge Anywhere makin memimpin untuk penyediaan solusi pembayaran bergerak menggunakan kartu kredit atau kartu debit. ”Solusi kami bisa diterapkan secara efektif untuk usaha skala kecil sekalipun,” kata Paul.

”Aplikasi kami bisa berjalan di berbagai platform, termasuk Blackberry, Windows Mobile, J2ME, Wireless dan IP POS Terminal, Windows, dan QuickBooks,” kata Paul.

”Charge Anywhere memenangi penghargaan karena kompatibilitas PCI adalah masalah besar bagi bisnis ritel dan industri perbankan. Selama ini bisnis skala kecil merupakan yang terlemah dalam penggunaan kartu kredit,” begitu komentar juri Best of Interop, Tim Wilson.

Paul dengan Signature Capture Mobile Payment Solution, yang menyimpan proses elektronik secara digital, juga memenangi penghargaan Technology Innovation Award 2009 pada ajang Electronic Transactions Association (ETA) Annual Meeting and Expo, 13 Mei lalu.

Kreativitas developer

Di acara WES 2009, ratusan hingga mungkin ribuan developer berkumpul untuk meng-update informasi terbaru soal Blackberry. Minat para developer semakin tinggi karena adanya peluncuran Blackberry Enterprise Server versi 5.0 untuk pertama kali. Mereka meng-update informasi soal bagaimana mengintegrasikan berbagai program di bawah Blackberry.

Apa yang dilakukan Charge Anywhere sebenarnya sudah banyak dicoba para developer lainnya juga. Idenya sederhana: bagaimana agar pengusaha bisa menerima pembayaran hanya bermodalkan telepon seluler dengan koneksi internet yang ada.

Sistem pembayaran ini seolah mewujudkan mimpi kita bagaimana memberdayakan telepon genggam agar lebih produktif. Problem di negara berkembang, biasanya selalu jor-joran dengan perangkat bergerak tercanggih, tetapi mentok tak bisa memanfaatkan teknologinya, sekadar untuk SMS dan telepon.

Perangkat Charge Anywhere, selain membutuhkan perangkat bergerak, misalnya Blackberry atau smartphone yang mendukung J2ME atau yang berbasis Windows Mobile, juga membutuhkan perangkat Bluetooth card reader dan opsional printer mini untuk mencetak resi tanda terima.

Semua transaksi telah terenkripsi secara aman. Transaksi hanya bisa dilakukan oleh perangkat yang mendapat sertifikasi PCI DSS. Hanya enkripsi berbasis 128 bit yang bisa diterima, menggunakan https, dan SSLv3 support untuk menyempurnakan keamanannya.

Harus diakui, di dunia dan sudah pasti di Indonesia, payment gateway bergerak yang murah dan aman masih menjadi persoalan besar. E-commerce di Indonesia tidak berkembang salah satunya karena absennya solusi pembayaran yang mudah, aman, dan bisa dipercaya.

Sayang, Charge Anywhere belum merambah ke Indonesia. Namun, setidaknya ada harapan di masa depan bahwa kita bisa memercayai telepon genggam kita, apa pun mereknya asal platform-nya sesuai, sebagai bagian dari alat produktivitas, tak lagi sekadar barang konsumtif untuk gagah-gagahan.

"Server" Baru Blackberry dan Harapan Baru

Awalnya, Blackberry di kalangan tertentu dicibir karena dianggap sekadar jualan gaya. Namun, ketika komunitas developer perangkat lunak bergerak memperkaya aplikasi Blackberry, banyak pihak mulai memperhitungkan teknologi ini.

Di sini tak lagi akan dibahas soal teknologi push-mail Blackberry yang memudahkan penggunanya bisa menerima e-mail secara real time. Karena walaupun teknologi ini unik, persoalan e-mail ini sudah diselesaikan dengan baik oleh teknologi smartphone lainnya.

Research In Motion (RIM), perusahaan pembuat Blackberry, akhirnya merilis server baru bernama BES 5.0 di ajang Wireless Enterprise Symposium (WES) 2009 di Orlando, Florida, Amerika Serikat, Mei. Server ini dilengkapi sertifikasi Common Criteria Evaluation Assurance 4+ (EAL4+). Common Criteria merupakan standar internasional untuk keamanan produk.

”BES adalah perangkat bergerak pertama di dunia yang mendapatkan sertifikasi EAL4+. Sertifikasi ini merupakan komitmen RIM untuk menyediakan perangkat bergerak yang memenuhi standar keamanan bagi dunia bisnis dan organisasi,” kata Mike Lazaridis, Presiden dan CEO RIM yang juga pendiri Blackberry.

Isu keamanan memang sensitif dalam penggunaan perangkat bergerak, terutama jika sudah diaplikasikan di bidang bisnis, seperti finansial, asuransi, investasi, ritel, bantuan hukum, rumah sakit, dan sektor publik lainnya.

Salah satu keunikan Blackberry kini adalah upaya memberdayakan pelaku di belakang layar yang tak lain adalah server yang cerdas. Perlu dicatat, Blackberry sebagai sebuah perangkat tak akan menjadi apa-apa jika server-nya tak mumpuni.

Dengan memaksimalkan kecerdasan server, mimpi Mike Lazaridis, sang pendiri BlackBerry, untuk menggabungkan fungsi wireless dan komputer di satu perangkat bergerak bisa terwujud. Posisi server di Blackberry yang dominan ini sangat berbeda dengan teknologi bergerak non- Blackberry.

”Server baru kami, BES 5.0 atau Blackberry Enterprise Server versi 5.0, telah dilengkapi teknologi terbaru, di antaranya database mirroring via SQL Server 2005 dan fitur automatic failover untuk mem-backup fungsi server agar terus hidup tanpa insiden server mati,” kata Lazaridis.

Di teknologi Blackberry, perusahaan skala kecil yang berminat pun bisa memiliki server sendiri untuk mendukung kinerja perusahaannya. Fitur-fitur yang tidak disediakan provider telepon seluler bisa dimaksimalkan jika punya server sendiri.

Ajang developer

 

Perangkat bergerak Blackberry seolah menjadi komputer mini yang terhubung ke satu server. Rapat antarkaryawan antarpulau atau anternegara tak perlu dilakukan dengan tatap muka langsung karena bisa dilakukan lewat aplikasi teleconference.

Cisco merilis aplikasi WebEx Meeting Center untuk mendistribusikan fungsi-fungsi live media, seperti live streaming audio atau video. Presentasi live, telepon, panduan, dan aktivitas live lainnya dengan mudah juga bisa dilakukan.

Untuk mengurangi biaya telepon, T-Mobile merilis fitur baru bernama Wi-Fi Calling, yaitu telepon berbasis Wi-Fi yang jauh lebih murah.

Di sisi keamanan, developer telah memikirkan bagaimana melindungi percakapan dari penyadapan. Dengan perangkat lunak Cellcrypt, percakapan menjadi aman karena telah terenkripsi menggunakan Encrypted Mobile Content Protocol.

Banyaknya program PC maupun berbasis smartphone yang berbeda-beda memang merisaukan banyak pihak karena kompatibilitas menjadi isu utama. Namun, persoalan seperti ini lagi-lagi dimanfaatkan developer sebagai peluang usaha.

Blackberry yang dilengkapi perangkat lunak Blackberry Java Development Environment (JDE) versi 4.0 memang memudahkan komunitas developer mengembangkan berbagai program. Kelahiran Blackberry akhirnya menciptakan sendiri peluang pasar dan lahirlah industri-industri kreatif yang terkait.

Misalnya, perusahaan Impetus telah menyatakan diri sebagai ”Porting Factory”. Porting adalah istilah untuk menjelaskan usaha mengadopsi software dengan platform berbeda ke platform yang diinginkan. Dengan demikian, persoalan kompatibilitas ini sudah ada yang berusaha membuatkan jembatannya.

Ajang WES selalu dimanfaatkan operator telepon seluler untuk berbelanja dan mencoba menjajaki partner bisnis dengan developer program seluruh dunia. ”Event seperti ini jadi ajang kami melihat-lihat produk dan jika menarik ya dibeli,” kata Divisi Head Product Strategi Mail and Messaging Indosat Agung Wijanarko.

Indosat dalam kesempatan itu ternyata sekaligus menandatangani kontrak eksklusif dengan salah satu developer software, yaitu SmrtGuard. ”Ini kontrak eksklusif kami dengan Indosat, di Indonesia software kami ini nantinya akan diberi label i-Guard,” kata Robert Kao, pendiri SmrtGuard,

SmrtGuard adalah kisah anak-anak muda Asia, yang bersaing di industri teknologi informasi Amerika Serikat. Selain Kao yang berasal dari Taiwan dan lulusan Amerika Serikat, SmrtGuard merekrut anak-anak muda dari Asia, seperti India dan Filipina.

 

 

 

 

”Server” sendiri

Tentang bagaimana membuat server Blackberry sendiri dan biayanya berapa, hingga kini masih didominasi peran provider telepon seluler. Jadi, berbeda dengan teknologi server web yang dengan mudah bisa di-install perseorangan asal punya koneksi internet memadai dan punya alamat IP publik.

Jika kini industri server web telah menjadi industri masif di kota-kota besar dunia dengan label web hosting, tampaknya industri server Blackberry juga diprediksikan bisa bergerak ke situ. ”Memang sudah mulai ada wacana bagaimana menyediakan layanan hosting Blackberry di datacenter umum, tapi sejauh ini belum banyak,” kata seorang peserta WES 2009 dari Indonesia.

Di negara maju yang melek teknologi soal server, mereka sudah akrab dengan instalasi membuat server sendiri di rumah. Memang, selain BES yang identik untuk keperluan perusahaan, Blackberry juga menyediakan software server gratis bernama Blackberry Professional Software (BPS).

BPS ini bisa digunakan dengan jumlah klien mulai dari 1 orang hingga 30 orang. Jika ingin lebih dari 30 orang, harus upgrade ke versi BES. Adapun BES bisa digunakan untuk klien mulai dari 20 orang hingga 1.000 orang.

Secara prinsip, cara kerja BES dan BSP ini juga sama, kedua-duanya membutuhkan otentifikasi dari Blackberry Kanada. BSP dan versi trial BES ini bisa diunduh dari situs web Blackberry.

Jika kita meng-install BSP di rumah kita, prinsipnya seperti ini: jika ada e-mail dikirim, setelah e-mail masuk di server e-mail perusahaan pengelola e-mail kita (misal Gmail, Hotmail, Yahoo, atau domain perusahaan kita sendiri, misal Kompas.com), e-mail akan ditarik oleh komputer server kita di rumah yang sudah di-install BSP. Oleh BSP, e-mail akan mengalami kompresi atau dikecilkan ukurannya, dienkripsi, dan diteruskan ke perangkat Blackberry lewat internet menggunakan jaringan telepon seluler. Pesan akhirnya diterima perangkat Blackberry, kemudian e-mail didekripsi, didekompres.

Semudah itu kah? Ya, betul! Bahkan, instalasi server BES pun juga mudah karena sekarang perusahaan, seperti VMware vSphere, telah memudahkan virtualisasi pengelolaan server, mulai dari instalasi hingga pengelolaan harian.

Namun, di Indonesia, masalah BSP dan BES ini memang tak tersosialisasikan dengan baik karena pada umumnya kita hanya pengin ”terima bersih” saja dari operator telepon seluler, yang penting e-mail sudah masuk di handset kita. (Amir Sodikin)
Ada 0 Komentar Untuk Artikel Ini. Posting komentar Anda

Minggu, 24 Mei 2009

Apa Beda PDA dan Smartphone?

| Ruisa Khoiriyah |
Minggu, 10 Mei 2009

080811-lg2BANYAK orang yang mungkin bertanya-tanya, apa sesungguhnya perbedaan antara Personal Digital Asistant (PDA) phone dengan ponsel pintar alias smartphone? Memang, boleh jadi, letak perbedaan keduanya hanya pada sejarah kemunculannya.

Smartphone berawal dari penciptaan alat komunikasi dengan fungsi utama untuk bertelepon dan mengirim pesan. Belakangan, si gadget melengkapi diri dengan kemampuan mengirim e-mail, musik, kamera, video, GPS, sampai menjalankan program perkantoran.

Sementara PDA phone berangkat dari penciptaan gadget dengan fungsi utama sebagai asisten yang berfungsi untuk menyimpan notes dan menjalankan aplikasi perkantoran (office). Baru, kemudian, di PDA muncul fungsi telekomunikasi.

“Smartphone relatif lebih simpel ketimbang PDA phone,” ujar Iqbal Willis, pengamat gadget.

Perbedaan lainnya terletak pada sisi performance. Sejak awal kemunculannya, PDA lekat dengan keberadaan layar sentuh atau touch screen. Sedangkan smartphone umumnya tidak mengandalkan touch screen, namun lekat dengan keberadaan keyboard Qwerty.

Tapi, kini, baik smartphone dan PDA phone mengincar pasar yang sama. Persenjataan keduanya seragam. Misalnya kamera, musik, GPS dan sebagainya. Lalu, apa pertimbangan untuk memilihnya?

Berikut tip sebelum Anda menggengam si ponsel.

Pertama, kenali dulu kebutuhan Anda. Apakah kebutuhan untuk memiliki perangkat sepintar itu dan semahal itu memang cukup mendesak?

Meski beberapa smartphone atau PDA phone menawarkan kemampuan kamera atau memutar musik, jika Anda tidak terlalu membutuhkan fungsi office, lebih baik membeli ponsel multimedia. Pasalnya, banderol PDA phone dan smartphone termasuk berat di kantong.

Kedua, melihat spesifikasi gadget. Perhatikan sistem operasi, entah itu Symbian, Linux atau Windows Mobile. Lalu, tengok memori eksternalnya. Kalau memori internalnya cukup besar mungkin Anda tak perlu si eksternal. Tapi kalau memori internalnya imut, ada baiknya memilih ponsel yang bisa menampung memori eksternal.

Ketiga, kemampuan koneksi datanya, baik itu GPRS, HSDPA, atau WiFi. Begitu pula saluran koneksinya, bluetooth, USB, atau infrared. Tak kalah penting tentu kelengkapan fiturnya, mulai dari fungsi standar untuk messaging, telepon, e-mail, dan terutama untuk fungsi office.

Keempat, bodi. Layar kinclong dan lebar plus bodi ramping dan ringan, lebih asyik ketimbang bodi montok.

Kelima, tentu saja cari harga si pintar yang paling sepadan dengan fiturnya, plus cocok dengan isi kantong.

Kamis, 07 Mei 2009

TREO 750

Dukungan untuk smartphone Treo 750v

Find product support and answers to your questions through knowledge base articles and downloadable user guide documents. Dukungan produk dan menemukan jawaban untuk pertanyaan Anda melalui pengetahuan dasar artikel dan buku petunjuk-download dokumen.
Dukungan untuk smartphone Treo 750v

Getting Started Memulai

Annoucement Annoucement

Treo 750 Windows Mobile 6 update has expired Treo 750 Windows Mobile 6 update telah kadaluarsa
As of November 1, 2008, the promotional update to Windows Mobile 6 for Treo 750 smartphones is no longer available. As of November 1, 2008, promosi update ke Windows Mobile 6 untuk Treo 750 Smartphone tidak lagi tersedia.

The update was optional; Treo 750 running Windows Mobile 5 will continue to work and function as before. Pembaruan adalah opsional; Treo 750 menjalankan Windows Mobile 5 akan terus bekerja dan berfungsi seperti sebelumnya. Treo 750 devices began shipping with Windows Mobile 6 pre-installed after November 30, 2007. Treo 750 mulai pengiriman perangkat dengan Windows Mobile 6 pra-instal setelah 30 November 2007. To check the version of Windows Mobile software that your device is running, please follow the steps listed below. Untuk memeriksa versi Windows Mobile perangkat lunak yang sedang berjalan, ikuti langkah-langkah yang tercantum di bawah ini.

What version of Microsoft Windows Mobile software is on my Treo 750? Versi Microsoft Windows Mobile software di Treo 750?

  • On the Today screen open the Start menu Pada layar Today buka menu Start
  • Select Settings > System Tab > About Pilih Pengaturan> Sistem Tab> Tentang
  • On the About Screen read the first text line under the page heading, this states the version of Windows Mobile OS that is running on the device. Pada layar Tentang membaca teks baris pertama di bawah judul halaman, ini menyatakan versi Windows Mobile OS yang berjalan pada perangkat.

Treo 750v Support Resources Treo 750v Dukungan Resources


Setup and Configure Setup dan Konfigurasi

Software Downloads and Updates Download software dan Pembaharuan

Windows Mobile popular support topics Windows Mobile populer mendukung topik

Senin, 20 April 2009

Persoalannya pada Elite Partai

Maria Hartiningsih

Mayoritas masyarakat Indonesia sebenarnya rasional dan tak punya persoalan dengan kesetaraan hak perempuan dan laki-laki dalam politik. Secara teologis dan kultural, persoalan itu sebenarnya sudah selesai. Persoalannya justru di politik, pada elite politik dan mekanisme internal partai.

Kesimpulan itu merupakan benang merah pendapat aktivis dan feminis Muslim, Lies Marcoes-Natsir dari Fahmina Institute, serta Ani Sutjipto, dosen FISIP UI, menanggapi hasil survei nasional Indo Barometer mengenai keterwakilan perempuan dalam politik dan Pemilu 2009 yang dipaparkan di Jakarta, Selasa (7/4).

Survei itu tampaknya mencoba mencari penyebab rendahnya partisipasi perempuan dalam politik di Indonesia dan pandangan masyarakat terhadap pencalonan perempuan dalam pemilu legislatif dan pemilu presiden. Saat ini jumlah perempuan anggota DPR adalah 11,3 persen, sementara 49,8 persen penduduk Indonesia adalah perempuan (BPS, 2005).

Menurut Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari, sebagai negara dengan penduduk mayoritas Islam, ada pandangan—untuk tidak menyebut tafsir —berbeda di masyarakat tentang kepemimpinan perempuan dalam Islam.

Hasil survei secara kuantitatif di 33 provinsi dengan 1.200 responden—margin of error lebih kurang 3 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen—memperlihatkan, 84,5 persen responden mendukung keterwakilan perempuan dalam legislatif dan 75,8 persen mendukung kesetaraan hak perempuan untuk pemilu presiden.

Hasil survei secara substantif tidak berbeda dengan hasil penelitian kualitatif National Democratic Institute (NDI). ”Itu artinya masyarakat Indonesia cukup rasional,” ujar Ani Sutjipto.

Teologis-kultural, selesai

Hasil survei juga bisa dilihat sebagai sesuatu yang melampaui soal pemilu, juga melampaui soal jenis kelamin. Seperti dikemukakan Ani Sutjipto, kategori ”perempuan” dalam perspektif relasi kuasa yang timpang, khususnya antara laki-laki dan perempuan (jender), itu melintasi suku, ras, etnis, kelas sosial dan intelektual, kelompok, golongan, agama, dan lain-lain. Dengan demikian, kriteria ”perempuan” bersifat riil, sekaligus simbol yang merangkul seluruh kelompok yang terbisukan atau dirampas suaranya.

Menurut Lies Marcoes, secara teologis soal kepemimpinan perempuan sebenarnya sudah selesai dibicarakan ketika pada tahun 1957 Menteri Agama Wahid Hasyim mengeluarkan keputusan perempuan boleh masuk ke fakultas syariah.

”Itu berarti, dalam fikih Indonesia, perempuan boleh menjadi hakim. Ini adalah tawaran tertinggi dari perdebatan teologis tentang perempuan,” Lies menambahkan, ”Langkah itu sangat maju. Di Al Azhar pun baru tahun 1962 perempuan boleh masuk ke fakultas ilmu-ilmu agama.”

Secara kultural, Lies juga melihat tak ada segregasi jender yang kuat. ”Pada banyak kebudayaan, perempuan dan laki-laki berbagi peran di ranah domestik maupun publik. Jadi, ada ruang secara kultural yang cukup bagi kesetaraan politik,” sambung Lies.

Satu tarikan napas

Kalau diskriminasi terhadap perempuan secara teologis dan kultur di Indonesia sudah selesai, ujar Lies, seharusnya diskriminasi berdasarkan suku, agama, dan lain-lain di Indonesia sudah dapat diselesaikan.

”Itu merupakan satu tarikan napas,” ungkap Lies. Dengan demikian, seharusnya tak ada lagi praktik yang memilah warga berdasarkan ketegori jender, suku, ras, dan agama. ”Kita harus kembali kepada prinsip universal UUD 45,” kata dia.

Persoalannya ada di ranah politik. Lies mengingatkan, tahun 1992, NU mengeluarkan fatwa tak ada larangan bagi perempuan menjadi presiden. Ketika PDI-P memenangi Pemilu 1999, Kongres Umat Islam mengeluarkan fatwa yang menyatakan, sepanjang masih ada laki-laki, perempuan tak bisa jadi presiden.

Ketika Megawati didorong menjadi presiden setelah Gus Dur dimakzulkan, Hamzah Haz yang sebelumnya menolak perempuan menjadi presiden berbalik sikap. ”Ada kepentingan politik di situ karena dia mau jadi wakil presiden,” kata Lies.

Belum utuh

Hasil survei, menurut Ani Sutjipto, memperlihatkan pemahaman yang belum utuh tentang tindakan afirmatif. ”Meski mendukung kesetaraan hak politik perempuan, debat publik masih berkisar seputar kualitas perempuan,” ujar Ani.

Padahal, substansi persoalan melampaui masalah itu. Menurut Ani, muara persoalan ada di dalam partai. ”Kalau calegnya tak berkualitas, berarti mekanisme internalnya tidak beres, ada soal oligarki partai sehingga demokrasi tak jalan,” ujarnya.

Hasil survei juga memperlihatkan dinamika internal partai menanggapi kesetaraan politik perempuan. ”PAN sekarang lebih konservatif walaupun AD/ART-nya progresif. Kalau PKS, ya, kita tahulah. PPP lebih ke tengah. Waktu zaman Hamzah Haz lebih konservatif,” lanjut Ani, ”Partai-partai yang mendukung kesetaraan politik perempuan, seperti Golkar, Gerindra, dan PDI-P, mekanisme internalnya juga belum cukup demokratis.”

Namun, survei itu tidak menjawab perkiraan sikap politik pemilih terhadap keterwakilan perempuan. ”Memang sangat rumit karena bergantung daerah pemilihan, partainya, dan calegnya seperti apa. Ada caleg bagus, tetapi dapat dapil bukan di basisnya,” lanjut Ani.

Jadi, hasil survei tak bisa digunakan untuk mengukur elektabilitas, tetapi merupakan konfirmasi dukungan terhadap kesetaraan perempuan dalam politik.

Teknologi Informasi Kunci Demokrasi

Tujuan Komisi Pemilihan Umum membangun infrastruktur dan sistem teknologi informasi adalah untuk mengumpulkan dan memublikasikan hasil perolehan suara pemilu di semua tempat pemungutan suara dengan cepat, akurat, dan transparan.

Ini penting untuk mengatasi kendala sistem pemilu yang lebih rumit, khususnya pada pemilu legislatif, kondisi geografis yang sangat beragam dan tersebar, serta keterbatasan sarana dan prasarana, baik transportasi maupun telekomunikasi.

Penyampaian informasi yang cepat dan akurat dapat memberi masyarakat kesempatan ikut secara langsung mengawasi proses penghitungan suara per TPS yang bisa dipantau melalui situs http://tnp.kpu. go.id/.

Dengan demikian, proses penghitungan suara menjadi lebih transparan, jujur, dan adil. Masyarakat langsung memantau adanya penyimpangan atau perbedaan perolehan suara dan melaporkan adanya perbedaan itu kepada Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) setempat.

Di samping fungsi pengawasan, proses penghitungan TI menampilkan pergerakan perhitungan suara secara bertahap sehingga perkembangan perolehan suara dapat diikuti dari waktu ke waktu, dan masyarakat diharapkan lebih dapat menerima hasilnya. Ini terbukti dengan hasil Pemilu 2004 yang dapat diterima semua pihak, termasuk partai yang pada saat itu berkuasa.

Dasar penghitungan suara adalah perhitungan di TPS yang tercantum dalam formulir C1-IT dan disahkan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Hasil perolehan suara dalam formulir C1-IT langsung dibawa ke kecamatan atau PPK.

Pemilihan lokasi di kecamatan disebabkan kondisi geografis Indonesia yang luas dan jumlah TPS yang harus dimasukkan ke dalam sistem penghitungan suara. Waktu untuk membawa formulir C1-IT dari TPS ke kecamatan akan jauh lebih cepat daripada membawa formulir C1-IT dari TPS ke kabupaten atau kota sebagai lokasi untuk data entry (KPU daerah).

Data diamankan

Formulir didigitalkan oleh relawan data entry dan sebelum dikirimkan ke KPU pusat, data tersebut diverifikasi dahulu oleh PPK dan ditandai dengan diberikannya semacam personal identification number (PIN) khusus kepada PPK setempat. Setiap PPK di seluruh Indonesia mempunyai PIN khusus ini. Setelah PIN dimasukkan PPK, data dikirim setiap satu jam.

Pertimbangannya, untuk memasukkan data dari formulir C1-IT dibutuhkan waktu paling tidak lima menit per TPS (jumlah formulir ada empat buah, masing-masing untuk hasil DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, dan DPD). Dengan satu komputer saja per jamnya dihasilkan 12 TPS atau 144 TPS per hari per komputer.

Pengiriman dapat dilakukan karena KPU membangun infrastruktur di kecamatan melalui PT Telkom (2.659 kecamatan) dan PT PSN (1.850 kecamatan), serta menambah perangkat komputer di kecamatan untuk Jawa dua buah dan luar Jawa satu buah.

Dalam proses pengiriman, data diamankan menggunakan enkripsi dan message digest untuk menghindari penyadapan dan perubahan data selama pengiriman. Setelah data diterima server dan diverifikasi oleh server yang dinamakan submission server, data tersebut diteruskan ke server lain atau data warehouse untuk ditampilkan di internet (http://tnp.kpu.go.id).

Data tersebut juga disampaikan ke sejumlah parpol dan televisi sehingga masyarakat dapat mengikuti proses penghitungannya. Data yang ditampilkan adalah data mulai dari DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, dan DPD (Dewan Perwakilan Daerah). Di samping itu, disediakan juga helpdesk untuk membantu operator di seluruh Indonesia yang bertugas selama 24 jam sehari.

Sejak awal

Secara umum proses pada sistem 2009 hampir mirip dengan yang dilakukan tahun 2004. Prinsipnya, mengambil data per TPS dengan diadakannya formulir C1-IT yang kemudian dikirimkan ke kabupaten/kota.

Perbedaan utama adalah metode untuk memasukkan data dari TPS yang menggunakan basis kabupaten/kota dan penggunaan teknologi intelligent character recognition (ICR) yang berbasis pemindai. Data dalam bentuk teks tersebut sebelum dikirimkan ke Data Center KPU dilakukan enkripsi agar tidak mudah dipalsukan atau diubah di tengah jalan (intercept).

Kemudian di server KPU pusat, data yang telah dienkripsi di buka kembali (dekripsi), divalidasi, dimasukkan ke data warehouse server, dan baru ditampilkan di internet melalui situs http://tnp.kpu.go.id.

Pada penjelasan teknis tim IT KPU 2009 di bawah koordinasi BPPT yang dirilis pada situs blog, http://tipemilu2009.wordpress. com/2009/04/06/mengenal-icr/, sistem yang digunakan adalah ICR. Adapun diagram kerjanya dapat dilihat di bawah ini.

Persoalan yang muncul adalah keterlambatan data masuk ke Tabulasi Nasional Pemilu (TNP). Masalah ini sebenarnya sudah dapat diduga sejak awal. Titik kritis persoalan adalah lokasi untuk melakukan data entry yang diputuskan di kabupaten/kota. Ada waktu yang cukup lama untuk membawa semua hasil di TPS (form C1-IT) ke kabupaten/kota yang jaraknya bervariasi antara satu lokasi dan lokasi lain.

Faktor lain adalah jumlah formulir sebanyak 8 lembar per TPS membuat lama proses pemindaian (pindai, edit, simpan, dan kirim). Selain itu, perangkat dan sarana-prasarana pendukung yang disediakan di kabupaten/kota tidak mencukupi untuk mengelola karena TPS yang jumlahnya bisa mencapai ribuan di wilayah KPU daerah.

Di Kota Bandung, misalnya, ada sekitar 1,5 juta penduduk, dengan jumlah per pemilih per TPS rata-rata 300, maka akan ada 5.000 TPS untuk setiap formulir C1-IT yang harus dipindai, edit, dan simpan. Jika setiap formulir C1-IT membutuhkan lima menit, maka per jam dihasilkan 12 formulir, dan kalau dilakukan 24 jam nonstop hanya dihasilkan 144 formulir C1-IT per TPS per komputer.

Jika ada dua komputer, akan dihasilkan 288 TPS per hari. Sedangkan jumlah TPS mencapai lima ribu, dan untuk melengkapi semua hasil TPS akan dibutuhkan waktu 18 hari (kalau tidak terjadi persoalan teknis lainnya).

Perbedaan lain yang mendasar adalah tidak terlihat adanya mekanisme untuk melakukan metode koreksi kesalahan dengan cepat dan hanya dilakukan proses untuk DPR, sedangkan DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota dan DPD tidak dilakukan KPU (tim IT KPU).

Penambahan perangkat

Keterlambatan terjadi di TNP disebabkan antara lain business process yang tidak dipahami secara menyeluruh oleh perencana sistem dan dampak yang ditimbulkannya, pengambilan keputusan untuk melakukan data entry, atau scanning formulir C1-IT di kabupaten/kota tidak disertai perencanaan operator memadai.

Ketidakjelasan prosedur standar operasi (SOP) untuk melakukan proses digitalisasi formulir data C1-IT dan teknologi ICR sendiri yang tingkat ketelitiannya masih tidak dapat mencapai 99 persen.

Melihat masalah yang terjadi terkait kasus yang muncul belakangan ini, terutama berhubungan dengan kelambatan proses penghitungan suara, proses pemindaian, sebaiknya dilakukan dengan menambahkan jumlah pemindai, komputer, dan operator untuk data entry.

Besarnya penambahan sarana dan prasarana tergantung jumlah pemilih di suatu daerah, walaupun solusi ini mungkin sulit dilakukan mengingat proses pengadaan barang membutuhkan prosedur yang tidak mudah.

Selain itu, mengingat waktu sangat terbatas, sebaiknya data setiap formulir C1-IT di setiap TPS dimasukkan dengan cara diketik melalui program sederhana, diverifikasi oleh KPU daerah, dan dikirimkan ke Data Center KPU. Dengan mengerahkan semua sumber daya, KPU dapat mengatasi ketertinggalan data yang seharusnya mencapai 70 persen hingga hari ini.

Basis undang-undang

Teknologi informasi juga dapat dilakukan untuk proses pembaruan pendaftaran pemilih daftar pemilih tetap (DPT) pilpres I. Dengan waktu yang sangat ketat, updating data DPT hanya bisa dilakukan menggunakan teknologi informasi secara hati-hati dan tepat.

Berbasis pada KPU daerah, KPU dapat menyediakan sistem yang dengan cepat digunakan untuk updating data pemilih pilpres, sekaligus melakukan pemantauan distribusi logistik hingga ke titik TPS yang dituju. Teknologi yang ada terutama yang dimiliki KPU 2004 dapat juga digunakan untuk proses penghitungan suara di Pilpres 2009.

Teknologi tahun 2004 terbukti dengan cepat dapat memberikan hasil yang tingkat keakuratannya di atas 99 persen. Dengan keakuratan dan proses yang dapat diverifikasi dengan cepat, masyarakat berharap proses pemilu ini jujur dan adil.

Perlu dipertimbangkan juga adanya UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, di mana dinyatakan pada Bab III Pasal 5 Ayat 1, informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.

Ayat 2 menyebutkan, informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia.

Ayat 3, informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan sistem elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU ini.

Ayat 4, ketentuan mengenai informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 tidak berlaku untuk surat yang menurut UU harus dibuat dalam bentuk tertulis.

Berbasis pada undang-undang ini, data yang dihasilkan dari formulir C1-IT dapat juga dijadikan sebagai dasar hukum untuk penghitungan suara dan dapat secara sah diakui juga hasilnya sehingga teknologi informasi dapat memberikan sumbangsih yang besar pada proses demokrasi di Indonesia.

Basuki Suhardiman Sekretaris Tim IT KPU 2004

Selasa, 31 Maret 2009

Media Tradisional Vs "New Media"

Oleh Myrna Ratna

Naiklah kereta bawah tanah di Tokyo. Sepuluh tahun lalu, hampir sebagian besar penumpangnya, baik tua dan muda, tepekur membaca buku, majalah, surat kabar, dan komik. Kini yang ada di tangan mereka adalah handphone, i-pod, note-book. Inilah generasi paperless….

Media tradisional, khususnya cetak, sedang menghadapi cobaan berat. Kehadiran media baru (new media), seperti internet, telepon genggam, i-pod, radio satelit, dan munculnya sebuah generasi yang berbeda dalam mengonsumsi informasi telah memaksa media cetak untuk berpikir keras menata kembali posisinya agar tetap relevan bagi konsumennya.

Datangnya era jurnalisme warga (citizen journalism) juga memaksa media tradisional mengubah pola pikir sebagai satu- satunya alternatif penyampai ”kebenaran”. Namun, tantangan terberat berikutnya adalah datangnya krisis ekonomi global. Bagi media cetak, harga kertas impor terus membubung, pemasukan iklan menurun drastis, dukungan distribusi semakin mahal, sementara sirkulasi umumnya stagnan, kalau tidak anjlok.

Bila dianalogikan dengan badai, inilah ”badai sempurna” (perfect storm) bagi industri media cetak ketika tiga gelombang menghantam sekaligus. Korban pun berguguran. Bangkrutnya sejumlah surat kabar besar di Amerika Serikat menjadi sinyal yang memilukan. Semua ini memunculkan pertanyaan, akan seperti apakah nasib media tradisional, khususnya media cetak Asia. Yang lebih penting lagi, akan seperti apakah wajah jurnalisme di masa depan.

Inilah salah satu topik hangat yang dibahas dalam Simposium Wartawan Asia yang berlangsung di Tokyo, 18 Maret lalu, yang diselenggarakan Departemen Luar Negeri Jepang dan disponsori Televisi Publik NHK serta harian Yomiuri Shimbun. Simposium yang bertajuk ”Development of Fundamental Values and Journalism: Past, Present and Future, Achievements and Prospects of the Media”, itu dihadiri panelis dari India, Korea Selatan, Jepang, dan Indonesia, dengan ketuanya Toshiyuki Sato dari Japan Broadcasting Corporation NHK, serta pembicara utama Dr Isami Takeda dari Universitas Dokkyo.

Di negara-negara Asia yang mayoritas penduduknya sudah akrab dengan teknologi tinggi, seperti Jepang dan Korea Selatan, kekhawatiran bahwa media cetak akan ditinggalkan mulai terasa. Terlebih di Jepang yang senantiasa berkiblat pada fenomena yang terjadi di Barat, walaupun sebetulnya tingkat sirkulasi media cetaknya sampai saat ini masih luar biasa. Oplah Yomiuri Shimbun misalnya, sekitar 10 juta eksemplar. Namun, menurut Editor Senior Yomiuri Shimbun Akira Fujino, saat ini pemasukan iklan untuk media-media cetak di Jepang umumnya turun 10-20 persen.

Tak sederhana

Meski demikian, masa depan media cetak di Asia tak bisa disimpulkan secara sederhana karena masing-masing negara memiliki kondisi sosial sekaligus perjalanan sejarah persnya yang unik. Di Indonesia, misalnya, tantangan industri pers sampai tahun 1998 adalah memperjuangkan kebebasan dirinya. Tonggak kebebasan itu ditandai dengan jatuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998.

Media ikut berperan dalam penetapan agenda-setting perjalanan demokrasi di Indonesia. Dan, menjaga apa yang telah diraih dalam proses reformasi, seperti: memberi peran yang lebih besar bagi masyarakat madani, mencegah militer kembali ke panggung politik, menjamin proses checks and balances di antara tiga pilar kekuasaan, menjunjung penegakan hukum dan penghormatan pada HAM—semua itu menjadi prioritas utama pers Indonesia.

Hal yang sama juga terjadi di Korsel dan India. Perjuangan terhadap kebebasan pers di Korsel berpuncak setelah rezim militer tumbang tahun 1992. Sedangkan di India yang sudah lebih lama memiliki tradisi pers yang demokratis, kontribusi media cetak begitu dominan dalam menentukan arah kebijakan pemerintah. Dengan kata lain, di sejumlah negara di Asia, roh jurnalisme begitu erat dengan pembangunan demokratisasi.

Sehingga, bisa jadi persepsi tentang ”ancaman” terhadap industri pers berbeda dari satu negara dengan negara lainnya. Misalnya saja, mengenai penetrasi new media. ”Di India, media internet belum mengancam dominasi media cetak. Bahkan, survei nasional mengenai tingkat keterbacaan justru menunjukkan lonjakan signifikan untuk surat kabar-surat kabar India,” kata Unni Rajen Shanker, Editor Eksekutif The Indian Express yang berbasis di New Delhi.

Alasannya mungkin lebih kurang sama dengan situasi di Indonesia. Kedua negara ini masih berjuang melawan tingkat buta huruf. Di Indonesia jumlahnya masih sekitar 11 juta orang, dengan usia 15 tahun ke atas. Di India yang penduduknya lebih dari 1 miliar, angkanya lebih tinggi. Tingkat akses terhadap internet di India maupun Indonesia pun masih rendah. Hanya sekitar 25 juta orang di Indonesia saat ini yang memiliki akses terhadap internet atau sekitar 11 persen dari populasi yang berjumlah 228 juta orang. Dengan kata lain, kalaupun saat ini media cetak dan televisi kondisinya sedang ”berdarah-darah”, hal itu lebih dikarenakan faktor resesi ekonomi.

Meski demikian, tidak berarti tren ”going digital” bisa diabaikan. Setidaknya hal itu terekam dari jumlah kunjungan terhadap website Kompas.com yang diluncurkan sejak tahun 1995. Berdasarkan data Februari 2009, setiap bulan situs Kompas.com dikunjungi 66 juta kali, sementara page-view mencapai hampir 200 juta kali. Fakta ini menyiratkan bahwa di masa depan new media akan semakin berperan, dengan partisipasi masyarakat yang semakin besar. Namun, tidak berarti media cetak akan ”mati”

Etika jurnalisme

Pengalaman Yeon Ho Oh, CEO dari OhmyNews.com, menarik untuk disimak. OhmyNews adalah media online yang kontributornya atau ”reporter”-nya 100 persen pembaca, dan memiliki slogan bahwa warga biasa bisa menjadi reporter, penulis, pencetak, sekaligus pendistribusi berita. Pembiayaan produksinya selain dari iklan juga dari donasi pembaca. Laman ini muncul sebagai ”perlawanan” terhadap media arus utama yang dianggap oportunis terhadap pemerintah dan tidak menyampaikan suara rakyat yang sebenarnya. Kehadiran OhmyNews di Korsel memang fenomenal karena menjadi simbol ”demokratisasi pers” .

Namun, media berbasis warga maya (netizen) ini belakangan juga sulit melawan hantaman resesi. Pemasukan keuntungan secara konsisten menurun sejak tahun lalu sehingga menuntut manajemennya berpikir keras untuk membangun sebuah model bisnis baru.

Tapi yang lebih mendasar adalah gugatan terhadap produknya. Bagaimana menguji akurasi kebenaran sebuah berita? Bagaimana meyakini bahwa prinsip-prinsip etika jurnalisme tetap dipegang? Apakah pembaca hanya akan disuguhi berita-berita yang hanya ingin mereka dengar dan hanya pro terhadap kepentingan mereka? Bagaimana dengan tingkat kapabilitas ”reporter” dalam mengulas persoalan-persoalan khas semacam krisis ekonomi, perubahan iklim, dan konflik hukum?

Kata kuncinya adalah sinergi. Kelemahan di satu media dijembatani oleh media lainnya. Media internet memiliki kelebihan dalam menyuguhkan berita secara ”real-time”, yang menjadi kebutuhan nyata pelanggan. Bukan hanya itu, pelanggan pun ingin berpartisipasi, ingin bersuara, dan menyatakan pendapatnya. Semua kebutuhan ini bisa difasilitasi dan dieksploitasi oleh media digital yang memiliki space tak terbatas. Muncullah komunitas blogger, forum pembaca, dan sebagainya.

Toh, itu saja tak cukup. Pelanggan pun tetap membutuhkan berita yang memiliki kedalaman dan konteks. Berita yang menjawab semua keingintahuan mereka, dan disajikan secara sistematis, profesional, akurat, dan kredibel. Di sinilah kontribusi media cetak.

Tantangan terberat memang berada di pihak media cetak. Tapi ini bukan hal baru. Ketika era media elektronik (radio dan televisi) hadir dengan kemampuan penyajian berita selama 24 jam, nasib media cetak pernah diramalkan akan ”habis”. Kini kehadiran new media juga memunculkan ramalan serupa.

Namun yang sering dilupakan di sini adalah cetak, elektronik, ataupun internet hanyalah sarana. Yang jauh lebih penting adalah menjaga spirit jurnalisme. Akurasi, integritas, kredibilitas, keseimbangan, dan profesionalitas adalah roh jurnalisme yang tak akan lekang oleh waktu. Hal itu hanya bisa diperjuangkan oleh para jurnalis yang memiliki etika, kejujuran, dan mau bekerja keras.

Kamis, 26 Maret 2009

iNews dan E-book Selamatkan Koran?


Rabu, 25 Maret 2009 | 05:07 WIB

Oleh NINOK LEKSONO

Surutnya era surat kabar di berbagai penjuru dunia telah banyak diwacanakan, antara lain ditandai oleh surutnya pendapatan iklan dan jumlah pelanggan, lebih-lebih dari kalangan muda. Tak bisa disangkal lagi bahwa generasi muda yang juga dikenal sebagai Generasi Digital atau Generation C lebih menyukai peralatan (gadget) untuk mendapatkan informasi.

Menghadapi era transisi atau era baru ini, berbagai pendapat masih saling adu kuat, antara yang masih percaya akan kelangsungan hidup surat kabar dan yang yakin bahwa media yang pernah sangat berpengaruh ini satu hari nanti akan punah.

Hari-hari ini, tokoh besar media seperti Rupert Murdoch berada dalam kebimbangan besar. Sesaat sebelum resesi marak, Murdoch membeli Dow Jones yang menerbitkan koran The Wall Street Journal senilai 5 miliar dollar AS (sekitar Rp 60 triliun). Itu karena Murdoch dikenal sebagai sosok yang punya kelekatan kuat terhadap surat kabar (meski ia juga diakui sebagai mogul multimedia abad ke-21). Tetapi, kini ketika surat kabar mengalami kemunduran paling buruk semenjak Depresi (Besar tahun 1930-an), analis media di Miller Tabak, David Joyce, sempat mendengar dari para investor bahwa News Corp (konglomerasi media milik Murdoch) boleh apa saja, kecuali koran (IHT, 24/2).

Tantangan terhadap media cetak memang sungguh hebat. Orang membandingkan, mengapa media ini tak setahan TV, misalnya. Bahkan, ketika orang sudah banyak menghabiskan waktu di depan layar internet, atau juga di layar video, tidak sedikit pula yang masih terus bertahan di depan layar TV. Sayangnya, dalam pertempuran di antara layar-layar tersebut, media cetak tertinggal di belakang (Print media losing in a world of screens, IHT, 9/2).

Berbagai ide dan upaya telah dilontarkan untuk menyelamatkan surat kabar. Satu problem yang disadari ketika surat kabar masih diharapkan terus menjadi sumber keuntungan adalah bahwa akan ada kesulitan yang melilit. Penjelasan ini bahkan muncul ketika versi online koran sangat berpengaruh seperti The New York Times sudah amat maju, dengan pengakses unik 20 juta. Penyebabnya adalah penghasilan dari online hanya mampu mendukung 20 persen kebutuhan stafnya.

Menghadapi defisit ini, diusulkan ada pengerahan dana abadi (endowment) bagi institusi media cetak sehingga mereka terbebaskan dari kekakuan model bisnis, dan dengan itu media cetak tetap punya tempat permanen di masyarakat sebagaimana kolese dan universitas. (Lihat pandangan David Swensen, Chief Investment Officer di Yale, dan Michael Schmidt, seorang analis finansial, di IHT, 31/1-1/2.)

Dukungan teknologi

Sebelum ini, salah satu pemikiran yang banyak dikemukakan untuk meloloskan media cetak dari kepungan media baru adalah dengan bergerak ke arah multimedia sehingga berita tidak saja disalurkan untuk koran, tetapi juga untuk media lain, dari radio, TV, hingga internet dan mobile/seluler. Ini selaras dengan realitas baru, di mana pencari berita memang dari kalangan pengguna media noncetak dan media baru. Paham pun beranjak dari pembaca (readership) ke audiens. (Ini pada satu sisi juga akan membebaskan pengelola surat kabar dari tekanan meningkatkan oplah yang semakin sulit.)

Dalam kaitan ini pula muncul sejumlah inisiatif yang diharapkan mampu mempertahankan eksistensi surat kabar. Dua di antara inisiatif teknologi yang dimajukan untuk berkembang, dan seiring dengan itu bisa membantu surat kabar, adalah iNews (berita melalui perangkat internet) dan e-book (buku elektronik).

iNews

Sebelum ini, salah satu model bisnis untuk mengangkat industri musik adalah melalui apa yang dilakukan Apple dengan toko musik online-nya yang terkenal, iTunes, yang tahun lalu menjual 2,4 miliar track (lagu).

Yang disediakan oleh Apple kemarin ini adalah antarmuka pengguna yang mudah digunakan dan kerja sama luas dengan perusahaan musik. Dengan itu, petinggi Apple, Steve Jobs, bisa membantu bisnis (industri musik) yang nyaris ambruk akibat maraknya aktivitas bertukar lagu (file sharing). Memang dengan itu Apple dituduh mengerdilkan merek besar. Tetapi, itu tetap ada baiknya karena toh perusahaan musik yang dikerdilkan tadi masih tetap hidup sampai kini.

Pengelola bisnis surat kabar pun bisa waswas bahwa Apple bisa melakukan hal yang sama terhadap mereka. Caranya juga sama, meyakinkan jutaan pembaca yang tertarik, yang selama ini mendapatkan berita secara gratis melalui situs surat kabar—seperti kompas.com—untuk membayar.

Pilihan ini memang tampak lebih ditujukan untuk menyelamatkan institusi pers karena manakala pendapatan merosot, yang terancam bukan hanya perusahaan yang memiliki koran, tetapi juga berita yang dihasilkannya (David Carr, Could an iNews rescue papers?, IHT, 13/1)

Ide mencari bantuan juga dilakukan sejumlah media lain karena jelas ”gratis bukan sebuah model (bisnis)”. Cook’s Illustrated yang punya resep segudang dilanggan oleh 900.000 orang dan ecerannya mencapai 100.000. Selain itu, perusahaan ini punya 260.000 pelanggan online yang membayar 35 dollar AS per tahun. Pertumbuhannya mencapai 30 persen tahun 2008.

Di luar itu, tetap harus diakui, paham gratis masih dominan di dunia maya. Yang piawai tentu Apple, yang bisa membujuk pembeli gadget-nya untuk mau membayar musik yang dibeli. Jobs melihat musik sebagai bisnis perangkat lunak untuk memacu penjualan iPod dan iPhone. Bisnis musik tidak sepenuhnya senang dengan itu, tapi terbukti bisa membujuk pendengar membayar isi (lagu) untuk perangkatnya.

Dengan alam pikir ini pula dipikirkan gadget yang juga bisa diterapkan untuk koran. Misalnya iPod touch yang akan diluncurkan musim gugur tahun ini, dengan ukuran layar 18 sampai 23 cm.

Untuk e-book ada strategi lain. Amazon, yang sebelum ini telah membuat alat pembaca buku elektronik bernama Kindle, belum lama ini mengatakan bahwa selain dengan Kindle, buku elektronik juga akan bisa dibaca dengan smart-phone. Plastic Logic, pembuat alat e-reader lain, kini juga telah membuat persetujuan dengan sejumlah majalah dan surat kabar (The Economist, 14-20/2).

Skenario serupa seperti diuraikan di atas untuk iNews—yakni dengan pembundelan pemasaran antara alat dan isi (content) diharapkan bisa diterapkan—untuk alat-alat pembaca e-book ini. Dengan itu, meski koran dalam wujud tradisionalnya surut, lembaganya diharapkan bisa tetap lestari.