Senin, 20 April 2009

Persoalannya pada Elite Partai

Maria Hartiningsih

Mayoritas masyarakat Indonesia sebenarnya rasional dan tak punya persoalan dengan kesetaraan hak perempuan dan laki-laki dalam politik. Secara teologis dan kultural, persoalan itu sebenarnya sudah selesai. Persoalannya justru di politik, pada elite politik dan mekanisme internal partai.

Kesimpulan itu merupakan benang merah pendapat aktivis dan feminis Muslim, Lies Marcoes-Natsir dari Fahmina Institute, serta Ani Sutjipto, dosen FISIP UI, menanggapi hasil survei nasional Indo Barometer mengenai keterwakilan perempuan dalam politik dan Pemilu 2009 yang dipaparkan di Jakarta, Selasa (7/4).

Survei itu tampaknya mencoba mencari penyebab rendahnya partisipasi perempuan dalam politik di Indonesia dan pandangan masyarakat terhadap pencalonan perempuan dalam pemilu legislatif dan pemilu presiden. Saat ini jumlah perempuan anggota DPR adalah 11,3 persen, sementara 49,8 persen penduduk Indonesia adalah perempuan (BPS, 2005).

Menurut Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari, sebagai negara dengan penduduk mayoritas Islam, ada pandangan—untuk tidak menyebut tafsir —berbeda di masyarakat tentang kepemimpinan perempuan dalam Islam.

Hasil survei secara kuantitatif di 33 provinsi dengan 1.200 responden—margin of error lebih kurang 3 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen—memperlihatkan, 84,5 persen responden mendukung keterwakilan perempuan dalam legislatif dan 75,8 persen mendukung kesetaraan hak perempuan untuk pemilu presiden.

Hasil survei secara substantif tidak berbeda dengan hasil penelitian kualitatif National Democratic Institute (NDI). ”Itu artinya masyarakat Indonesia cukup rasional,” ujar Ani Sutjipto.

Teologis-kultural, selesai

Hasil survei juga bisa dilihat sebagai sesuatu yang melampaui soal pemilu, juga melampaui soal jenis kelamin. Seperti dikemukakan Ani Sutjipto, kategori ”perempuan” dalam perspektif relasi kuasa yang timpang, khususnya antara laki-laki dan perempuan (jender), itu melintasi suku, ras, etnis, kelas sosial dan intelektual, kelompok, golongan, agama, dan lain-lain. Dengan demikian, kriteria ”perempuan” bersifat riil, sekaligus simbol yang merangkul seluruh kelompok yang terbisukan atau dirampas suaranya.

Menurut Lies Marcoes, secara teologis soal kepemimpinan perempuan sebenarnya sudah selesai dibicarakan ketika pada tahun 1957 Menteri Agama Wahid Hasyim mengeluarkan keputusan perempuan boleh masuk ke fakultas syariah.

”Itu berarti, dalam fikih Indonesia, perempuan boleh menjadi hakim. Ini adalah tawaran tertinggi dari perdebatan teologis tentang perempuan,” Lies menambahkan, ”Langkah itu sangat maju. Di Al Azhar pun baru tahun 1962 perempuan boleh masuk ke fakultas ilmu-ilmu agama.”

Secara kultural, Lies juga melihat tak ada segregasi jender yang kuat. ”Pada banyak kebudayaan, perempuan dan laki-laki berbagi peran di ranah domestik maupun publik. Jadi, ada ruang secara kultural yang cukup bagi kesetaraan politik,” sambung Lies.

Satu tarikan napas

Kalau diskriminasi terhadap perempuan secara teologis dan kultur di Indonesia sudah selesai, ujar Lies, seharusnya diskriminasi berdasarkan suku, agama, dan lain-lain di Indonesia sudah dapat diselesaikan.

”Itu merupakan satu tarikan napas,” ungkap Lies. Dengan demikian, seharusnya tak ada lagi praktik yang memilah warga berdasarkan ketegori jender, suku, ras, dan agama. ”Kita harus kembali kepada prinsip universal UUD 45,” kata dia.

Persoalannya ada di ranah politik. Lies mengingatkan, tahun 1992, NU mengeluarkan fatwa tak ada larangan bagi perempuan menjadi presiden. Ketika PDI-P memenangi Pemilu 1999, Kongres Umat Islam mengeluarkan fatwa yang menyatakan, sepanjang masih ada laki-laki, perempuan tak bisa jadi presiden.

Ketika Megawati didorong menjadi presiden setelah Gus Dur dimakzulkan, Hamzah Haz yang sebelumnya menolak perempuan menjadi presiden berbalik sikap. ”Ada kepentingan politik di situ karena dia mau jadi wakil presiden,” kata Lies.

Belum utuh

Hasil survei, menurut Ani Sutjipto, memperlihatkan pemahaman yang belum utuh tentang tindakan afirmatif. ”Meski mendukung kesetaraan hak politik perempuan, debat publik masih berkisar seputar kualitas perempuan,” ujar Ani.

Padahal, substansi persoalan melampaui masalah itu. Menurut Ani, muara persoalan ada di dalam partai. ”Kalau calegnya tak berkualitas, berarti mekanisme internalnya tidak beres, ada soal oligarki partai sehingga demokrasi tak jalan,” ujarnya.

Hasil survei juga memperlihatkan dinamika internal partai menanggapi kesetaraan politik perempuan. ”PAN sekarang lebih konservatif walaupun AD/ART-nya progresif. Kalau PKS, ya, kita tahulah. PPP lebih ke tengah. Waktu zaman Hamzah Haz lebih konservatif,” lanjut Ani, ”Partai-partai yang mendukung kesetaraan politik perempuan, seperti Golkar, Gerindra, dan PDI-P, mekanisme internalnya juga belum cukup demokratis.”

Namun, survei itu tidak menjawab perkiraan sikap politik pemilih terhadap keterwakilan perempuan. ”Memang sangat rumit karena bergantung daerah pemilihan, partainya, dan calegnya seperti apa. Ada caleg bagus, tetapi dapat dapil bukan di basisnya,” lanjut Ani.

Jadi, hasil survei tak bisa digunakan untuk mengukur elektabilitas, tetapi merupakan konfirmasi dukungan terhadap kesetaraan perempuan dalam politik.

Tidak ada komentar: